Teori konsumsi menempatkan praktik konsumsi tak hanya sebatas aktivitas. Lebih dari itu, yakni sebagai ideologi, cara pandang, dan sistem nilai. Teori konsumsi melihat tindakan masyarakat secara keseluruhan didorong oleh ideologi konsumerisme sehingga menciptakan kondisi yang disebut masyarakat konsumsi (consumer society).
Konsumerisme mendorong orang untuk mengonsumsi sebagai bagian dari usaha untuk mencapai kebahagiaan. Praktik konsumsi merupakan bagian penting dalam sistem masyarakat kapitalistik yang identik dengan produksi barang massal dan orientasi pada profit melaui proses penjualan.
Sosiolog Amerika Robert G. Dunn mengidentifikasi konsumerisme sebagai ideologi yang merayu orang-orang untuk masuk pada sistem produksi massal. Teori konsumsi melihat perilaku orang mengonsumsi bukan hanya sebagai praktik tapi juga tujuan yang menjadi dasar identitas dan pemaknaan tentang diri.
Sosiolog Polandia Zygmunt Bauman mengatakan konsumerisme eksis dalam masyarakat ketika keinginan, hasrat dan kebutuhan pada benda-benda menjadi faktor pendorong terhadap apa yang terjadi pada masyarakat. Keseluruhan sistem sosial juga dibentuk oleh konsumsi yang menjadi cara pandang, nilai, dan kultur dominan masyarakat.
Sebagai sebuah ideologi, konsumerisme tak hanya ditentukan oleh keinginan dan hasrat, namun justru menentukan keinginan dan hasrat untuk mengonsumsi. Melalui lensa teori konsumsi, masyarakat membeli barang bukan karena mereka butuh, namun lebih karena barang itu menentukan identitas dirinya. Hasrat untuk mengejar identitas terus-menerus di bentuk melalui iklan. Iklan sendiri merupakan rayuan agar orang-orang dengan sukarela menjadi bagian dari rangkaian produksi massal masyarakat kapitalistik. Konsep tentang identitas, dengan demikian, menjadi kunci dalam teori konsumsi.
Masyarakat konsumsi mendefinisikan status sosial dirinya bukan lagi dari apa yang diproduksi, melainkan dari apa yang dikonsumsi. Nilai kegunaan suatu benda secara otomatis telah bergeser pada nilai simbolik suatu benda.
Peran nilai-nilai simbolik yang melekat pada benda-benda menentukan apa yang kita konsumsi karena simbol-simbol tersebutlah yang nantinya mendefinisikan siapa diri kita. Sebagai contoh, perilaku orang membeli jam tangan tidak lagi didasarkan pada kegunaan sebagai penunjuk waktu. Jam tangan telah menjadi simbol, bagian dari fashion atau penegas penampilan formal.
Ketika sumberdaya finansial memungkinkan kita untuk memilih segala merek jam tangan, kita mulai berpikir tentang makna-makna simbolik yang diberikan jam tangan kepada kita. Keputusan untuk membeli arloji bermerek didasarkan tidak hanya pada pertimbangan finansial saja, namun juga orientasi simbolik tentang identitas kita. Teori konsumsi melihat praktik konsumsi sebagai aktivitas utama manusia karena mendefinisikan siapa dirinya.
Ketika sumberdaya finansial memungkinkan kita untuk memilih segala merek jam tangan, kita mulai berpikir tentang makna-makna simbolik yang diberikan jam tangan kepada kita. Keputusan untuk membeli arloji bermerek didasarkan tidak hanya pada pertimbangan finansial saja, namun juga orientasi simbolik tentang identitas kita. Teori konsumsi melihat praktik konsumsi sebagai aktivitas utama manusia karena mendefinisikan siapa dirinya.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Konsumsi dalam pandangan sosiologi sebagai masalah selera, identitas, atau gaya hidup maksudnya terkait kepada aspek-aspek sosial budaya. Sosiolog memandang dari segi selera sebagai sesuatu yang dapat berubah, difokuskan pada kualitas simbolik dari barang (maksudnya jika di lihat orang menjadi menarik dan modis), dan tergantung dari persepsi tentang selera orang lain.
Konsumsi adalah kegiatan atau tindakan mempergunakan komoditas barang atau jasa untuk memenuhi keinginan, dengan cara atau sikap yang umum, yang dipengaruhi oleh struktur dan pranata sosial di sekitarnya. Skemanya adalah :
Struktur dan Pola cara dan sikap à Pranata Sosial dalam kegiatan konsumsi.
Kegiatan konsumsi adalah tindakan atau kegiatan mempergunakan barang/jasa, di mana tindakan itu didasarkan pada makna subjektif, rasionalitas, emosi dan motif tertentu dari individu agar di mengerti dan dipahami oleh orang lain.
Weber ([1922 1978)] berpendapat bahwa selera merupakan pengikat kelompok dalam (ingroup). Actor-aktor kolektif berkompetisi dalam penggunaan barang-barang simbolik. Keberhasilan dalam berkompetisi ditandai dengan kemampuan untuk memonopoli sumber budaya, sehingga akan meningkatkan prestis dan solidaritas kelompok dalam.
Sedangkan Veblen ([1899] 1973) memandang selera sebagai senjata dalam berkompetisi. Kompetisi tersebut berlangsung antar pribadi, antara seseorang dengan orang lain. Jika dalam masyarakat tradisional, keperkasaan seseorang sangat dihargai; sedangkan dalam masyarakat modern, penghargaan diletakkan atas dasar selera
dengan mengkonsumsi sesuatu yang merupakan refleksi dari kepemilikan. Dalam masyarakat perkotaan, anggota kelas tertentu mempunyai kemampuan untuk mengonsumsi barang-barang tertentu yang dilekatkan pada gaya hidup dari kelompok status tertentu.
Sosiologi konsumsi dapat didefinisikan :
1. Suatu kajian yang mempelajari hubungan antara masyarakat yang didalamnya terjadi interaksi sosial dengan konsumsi.
2. Pendekatan sosiologis yang diterapkan pada fenomena konsumsi.
Sosiologi konsumsi sebagai kajian dapat dilihat bagimana masyarakat mempengaruhi konsumsi dan bagaimana konsumsi mempengaruhi masyarakat. Masyarakat sebagai realitas eksternal akan menunutun individu dalam menentukan apa yang boleh dikonsumsi, bagaimana cara mengkonsumsinya dan dimana dapat mengkonsumsi.
Sebagai pendekatan sosiologi terdiri dari konsep, variabel, teori dan metode yang digunakan sosiologi untuk memahami kenyataan sosial. Konsep sosiologis merupakan konsep yang di gunakan untuk menunjukan sesuatu dalam konteks akademik. Variabel merupakn konsep yang memiliki variasi nilai sedangkan teori merupakan abstraksi dari kenyataan yang menyatakan hubungan sistematis antara fenomena sosial.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas Maka pertanyaan makalah dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa Pengertian Dari Konsumsi ?
2. Penggolongan Konsumsi dalam ?
3. Faktor faktor dari Konsumsi ?
4. Pandangan Para Ahli Sosiologi Tentang Konsumsi ?
5. Fenomena Konsumsi ?
6. Konsumsi Masyarakat Pra kapitalis dengan Kapitalis ?
7. Karakteristik dari Budaya Konsumen ?
1.3. Tujuan
Berdasarkan latar belakang masalah dan rumusan masalah, maka tujuan dari makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui Pengertian Dari Konsumsi
2. Untuk mengetahui Penggolongan Konsumsi
3. Untuk mengetahui Faktor faktor dari Konsumsi
4. Untuk mengetahui Pandangan Para Ahli Sosiologi Tentang Konsumsi
5. Untuk mengetahui Fenomena Konsumsi
6. Untuk mengetahui Konsumsi Masyarakat Pra kapitalis dengan Kapitalis
7. Untuk mengetahui Karakteristik dari Budaya Konsumen
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Penggolongan Konsumsi
Adapun konsumsi dapat digolongkan dalam 2 bagian, yaitu :
1. Konsumsi langsung dan konsumsi tak langsung. Konsumsi langsung merupakan pengkonsumsian barang yang langsung dilakukan oleh penggguna barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Contohnya, makanan, minuman, dan pakaian yang langsung dipakai oleh pengguna.
2. Konsumsi tak langsung merupakan pemakaian benda konsumsi berupa barang dan jasa yang tidak secara langsung digunakan untuk memenuhi kebutuhan pengguna barang. Contohnya, pembelian bahan baku pabrik yang akan diproses lebih lanjut untuk keperluan penciptaan barang. Pembelian bahan baku dapat dikategorikan sebagai tindakan konsumsi, tetapi bukan merupakan konsumsi langsung.
2.2 Faktor Yang Memengaruhi Konsumsi
Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga :
a. Faktor-faktor ekonomi
b. Faktor-faktor Non-Ekonomi
A. Faktor Faktor Ekonomi
· Tingkat Pendapatan
Pendapatan merupakan suatu balas jasa dari seseorang atas tenaga atau pikiran yang telah disumbangkan, biasanya berupa upah atau gaji. Makin tinggi pendapatan seseorang makin tinggi pula daya belinya dan semakin beraneka ragam kebutuhan yang harus dipenuhi, dan sebaliknya.
· Tingkat Kebutuhan
Kebutuhan setiap orang berbbeda-beda. Seseorang yang tinggal di kota daya belinya akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan yang tinggal di desa.
· Jumlah Barang-barang Konsumsi Tahan Lama Dalam Masyarakat
Pengeluaran konsumsi masyarakat juga dipengaruhi oleh jumlah barang-barang konsumsi tahan lama (consumers durables). Pengaruhnya terhadap tingkat konsumsi bisa bersifat positif (menambah) dan negatif (mengurangi). Barang-barang tahan lama biasnya harganya mahal, yang untuk memperolehnya dibutuhkan waktu untuk menabung. Apabila membelinya secara tunai, maka sebelum membeli harus banyak menabung.
· Tingkat Bunga
Tingkat bunga yang tinggi dapat mengurangi konsumsi, baik dilihat dari sisi keluarga yang memiliki kelebihan uang maupun yang kekurangan uang. Dengan tingkat bunga yang tinggi, maka biaya ekonomi dari konsumsi akan semakin mahal. Bagi mereka yang ingin mengkonsumsi dengan berutang dahulu, misalnya dengan meminjam dari bank atau menggunakan fasilitas kartu kredit, biaya bunga semakin mahal, sehingga lebih baik mengurangi konsumsi. Tingkat bunga yang tinggi menyebabkan menyimpan uang di bank terasa lebih menguntungkan ketimbang dihabiskan untuk dikonsumsi. Jika tingkat bunga lebih rendah yang terjadi adalah sebaliknya.
· Barang tahan lama
Barang tahan lama adalah barang yang dapat dinikmati sampai pada masa yang akan datang (biasanya lebih dari satu tahun). Adanya barang tahan lama ini menyebabkan timbulnya fluktuasi pengeluaran konsumsi. Seseorang yang memiliki banyak barang tahan lama, seperti lemari es, perabotan, mobil, sepeda motor, tidak membelinya lagi dalam waktu dekat. Akibatnya pengeluaran konsumsi untuk jenis barang seperti ini cenderung menurun pada masa (tahun) yang akan datang. Pengeluaran konsumsi untuk jenis barang ini menjadi berfluktuasi sepanjang waktu,sehingga pada periode tersebut pengeluaran konsumsi secara keseluruhan juga berfluktuasi. .
· Kebijakan Pemerintah Mengurangi Ketimpangan Distribusi Pendapatan
Keinginan pemerintah untuk mengurangi ketimpangan dalam distribusi pendapatan ternyata akan menyebabkan bertambhanya pengeluaran konsumsi masyarakat secara keseluruhan.
· Harga Barang
Jika harga barang naik maka daya beli konsumen cenderung menurun sedangkan jika harga barang dan jasa turun maka daya beli konsumen akan naik. Hal ini sesuai dengan hokum permintaan.
B. Faktor Non Ekonomi
· Kebiasaan Masyarakat
Di zaman yang serba modern muncul kecenderungan konsumerisme didalam masyarakat. Penerapan pola hidup ekonomis yaitu dengan membeli barang dan jasa yang benar-benar dibutuhkan, maka secara tidak langsung telah meningkatkan kesejahteraan hidup. Faktor sosial-budaya masyarakat juga berpengaruh terhadap besarnya konsumsi. Misalnya, berubahnya pola kebiasaan makan, perubahan etika dam tata nilai karena ingin meniru kelopmok masyarakat lain yang dianggap lebih hebat. Tidak mengherankan bila ada rumah tangga yang mengeluarkan uang ratusan juta, bahakan miliarab rupiah, hanya untuk membeli rumah idaman.
Dalam dunia nyata, sulit memilah-milah faktor apa mempengaruhi apa, seingga menyebabkan tejadinya perubahan/peningkatan konsumsi. Karena itu bisa saja terjadi dalam kelompok masyarakat yang berpendapat rendah yang memaksakan untuk membeli barang-barang dan jasa yang sebenarnya tidak sesuai dengan kemampuannya.
· Tingkat Pendidikan
Makin tinggi pendidikan seseorang makin tinggi pula kebutuhan yang ingin dipenuhinya. Contohnya seorang sarjana lebih membutuhkan computer dibandingkan seseorang lulusan sekolah dasar.
· Mode
Barang-barang yang baru menjadi mode dalam masyarakat biasanya akan laku keras di pasar sehingga konsumsi bertambah. Dengan demikian mode dapat mempengaruhi konsumsi. Manusia senantiasa berusaha untuk memperoleh kepuasan setinggi-tingginya dan mencapai tingkat kemakmuran dengan memenuhi berbagai macam kebutuhannya. Usaha itu dilakukan dengan mengkonsumsi barang dan jasa yang dibutuhkan.
· Jumlah penduduk
Jumlah penduduk yang banyak akan memperbesar pengeluaran konsumsi secara menyeluruh, walaupun rata-rata per orang atau keluaraga relatif rendah. Misalnya, walaupun tingkat konsumsi rata-rata penduduk Indonesia lebih rendah daripada penduduk Singapura, tetapi secara absoult tingkat pengeluaran konsumsi Indonesia lebih besar daripada penduduk Singapura. Sebab jumlah penduduk Indonesia lima puluh kali lipat penduduk Singapura.
Ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku konsumsi masyarakat yaitu :
Faktor internal meliputi :
a. Sumber daya konsumen
Antara lain sumber daya ekonomi (kemampuan ekonomi seseorang yang dimiliki atau akan dimiliki di masa datang), sumber daya temporal (waktu yang dimiliki), dan sumber daya kognitif (kapasitas mental menjalankan berbagai kegiatan pengolahan informasi).
b. Faktor sosial ekonomi
Faktor sosial ekonomi misalnya: umur, pendidikan, pekerjaan dan keadaan keluarga. Biasanya pendapatan akan tinggi pada kelompok umur muda dan terus meninggi dan mencapai puncaknya pada umur pertengahan, dan akhirnya turun pada kelompok tua.
c. Motivasi
Setiap manusia secara pribadi baik secara sadar maupun tidak sadar akan berusaha untuk mengurangi rasa ketegangan melalui tingkah laku mereka dalam memenuhi kebutuhannya dan sekaligus untuk mengurangi rasa ketegangan mereka. Seseorang akan mencoba memuaskan kebutuhan yang pertama seperti makan, minum dan tempat tinggal Apabila kebutuhan yang pertama sudah terpenuhi, barulah ia akan mencoba untuk memenuhi kebutuhan yang lain.
d. Pengetahuan
Belajar adalah perubahan-perubahan perilaku yang terjadi sebagai hasil akibat adanya pengalaman perubahan-perubahan perilaku tersebut, bersifat tetap atau permanen dan bersifat lebih fleksibel.
e. Sikap
Sikap setiap orang berbeda-beda menurut bagaimana cara seseorang memandang atau menilai sesuatu dan diharapkan bahwa sikap seseorang dapat menentukan prilaku dari orang tersebut dan dari sikap seseorang juga diharapkan dapat mengetahui cara berpikir seseorang yang dipengaruhi tingkat pmdidikannya.
f. Kepribadian
Karakteristik psikologis yang berbeda dari setiap orang yang memandang responnya terhadap lingkungan yang relatif konsisten. Kepribadian seseorang dapat dikatakan sama seperti percaya diri, menghargai sesama, bersifat sosial, berjiwa romantis dan sebagainya.
Faktor eksternal meliputi :
a. Faktor nilai-nilai budaya dan etnis
Mempelajari perilaku konsumen sama artinya dengan mempelajari perilaku manusia, sehingga perilaku konsumen dapat juga ditentukan oleh kebudayaan, yang
tercermin pada cara hidup, kebiasaan dan tradisi dalam memilih bermacam-macam produk di pasar.
b. Kelas Sosial dan kelompok status
Lapisan sosial dalam masyarakat dapat terjadi dengan sendirinya dalam proses pertumbuhan masyarakat itu, tetapi ada pula yang dengan sengaja disusun untuk mengejar suatu tujuan bersama. Alasan yang digunakan bagi tiap-tiap masyarakat berbeda-beda, ada yang berdasarkan pada keturunan, kepandaian, kekayaan dan lain-lain.
c. Kelompok sosial
Kelompok sosial mempengaruhi perilaku seseorang dalam pembelian dan sering dijadikan pedoman oleh konsumen dalam bertingkah laku Anggota kelompok referensi sering menjadi penyebar pengaruh dalam hal selera.
d. Keluarga dan rumah tangga
Keluarga terdiri dari keluarga inti ditambah dengan orang-orang yang mempunyai ikatan saudara dengan keluarga tersebut, seperti kakek, nenek, paman, bibi, dan menantu.
e. Pengaruh situasi
Antara lain lingkungan fisik, lingkungan sosial, waktu, tugas, dan keadaan anteseden/ suasana hati sementara. Sedang situasi konsumen antara lain situasi komunikasi, situasi pembelian, dan situasi pemakaian.
2.3 Pandangan Para Ahli Sosiologi Tentang Konsumsi
1. Karl Marx (1818-1883)
Dalam membahas komoditas, Marx membedakan membedakan antara alat-alat produksi (means of production) dan alat-alat konsumsi (means of consumption). Marx mendefinisikan alat-alat produksi sebagai komoditas yag memiliki suatu bentuk dimana komoditas memasuki konsumsi produktif (1884/1891:471) sedangkan alat-alat konsumsi didefinisikan sebagai kmoditas yang memiliki suatu bentuk dimana komoditas itu memasuki konsumsi individual dari kelas kapitalis dan pekerja (1884/1891:471).
Konsekuensi logis dari pembagian tersebut adalah mengklasifikasikan jenis konsumsi, yaitu konsumsi subtensi dan konsumsi mewah. Konsumsi substensi merupakan alat-alat konsumsi yang diperlukan (necessary means of consumption) atau yang memasuki konsumsi kelas pekerja. Dengan demikian, semua alat-alat konsumsi seperti bahan kebutuhan pokok (sandang, pangan dan papan) dipandang sebagai konsumsi substensi. Sedangkan konsumsi mewah adalah alat-alat kosumsi mewah (luxury means of consumption) yang hanya memasuki konsumsi kelas kapitalis yang dapat dipertukarkan hanya untuk pengeluaran dari nilai surplus, yang tidak diberikan kepada pekerja.
2. Emile Durkheim (1858-1917)
Menurut Durkheim, masyarakat terintegrasi karena adanya kesadarn kolektif (collective consciousness), yaitu totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentiment-sentimen bersama (1964). Ia merupakan suatu solidaritas yang tergantung pada individu-individu yang memiliki sifat-sifat yang sama dan menganut kepercayaan-kepercayaan dan pola normative yang sama pula.
Durkheim membagi masyarakat atas dua tipe, yaitu masyarakat yang berlandaskan solidaritas mekanik dan solidaritas organik. Dalam masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik, kesadaran kolektif meliputi keseluruhan masyarakat beserta anggotanya dan dengan intensitas tinggi seperti keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang dengan menggunakan hokum represif. Kesadaran kolektif dalam masyarakat berlandaskan solidaritas mekanik menuntun anggotanya untuk melakukan konsumsi yangtidak berbeda antara satu sama lain, seragam dalam cara dan pola konsumsi seperti pola pangan, sandang dan papan.
Masyarakat berlandaskan solidaritas organik telah mengalami transformasi ke dalam suatu solidaritas yang diikat oleh pembagian kerja sehingga intensitas kesadaran kolektif hanya mencakup kalangan masyarakat terbatas yang berada pada jangkauan ruang kesadaran kolektif itu saja. Intensitas kesadaran kolektif seperti itu mencerminkan individulitas yang tinggi, pentingnya konsensus pada nilai-nilai
abstrak dan umum seperti hukum pidana dan hukum perdata, dan dominannya hukum restitutif, yaitu hukum yang bertujuan untuk mengembalikan keadaan menjadi keadaan seperti semula melalui hukum yang bersifat memulihkan.
3. Max Weber (1864-1920)
Menurut Weber, agama protestan memberikan dorongan motivasional untuk menjadi seseorang yang memiliki suatu orientasi agama yang bersifat asketik dalam dunia (inner-Worldly asceticism), yaitu suatu komitmen untuk menolak kesempatan atau sangat membatasi diri untuk menuruti keinginan jasadi atau inderawi, atau kenikmatan yang bersifat materialistik, termasuk cara konsumsi tertentu, demi meraih suatu tujuan spiritual yang tinggi, yaitu keselamatan abadi, melalui pekerjaan di dunia yang dianggap sebagai suatu panggilan suci.
Max Weber dalam Economy and Society menyatakan bahwa tindakan konsumsi dapat dikatakan sebagai tindakan sosial sejauh tindakan tersebut memperhatikan tingkah laku dari individu lain dan oleh karena itu diarahkan pada tujuan tertentu.
Sedangkan tindakan sosial itu sendiri menurut Weber terdiri dari:
· Zweckrationalitat / instrumentally rational action / tindakan rasional instrumental yaitu tindakan yang berdasarkan pertimbangan yang sadar terhadap tujuan tindakan dan pilihan dari alat yang dipergunakan.
· Wertrationalitat / value rational action / tindakan rasional nilai yaitu suatu tindakan dimana tujuan telah ada dalam hubungannya dengan nilai absolut dan akhir bagi individu.
· Affectual type / tindakan afektif, yaitu suatu tindakan yang di dominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi intelektual atau perencanaan yang sadar seperti cinta, marah, suka, atau duka.
· Traditional action / tindakan tradisional yaitu tindakan yang dikarenakan kebiasaan atau tradisi.
4. Thorstein Veblen (1857-1929)
Mengajukan istilah conspicuous consumption (konsumsi yang mencolok) untuk menunjukkan barang-barang yang kita beli dan kita pertontonkan kepada orang lain untuk menengaskan gengsi dan status kita serta menunjang gaya hidup di waktu luang. Barang-barang yang di beli atau di konsumsi biasanya berupa sesuatu yang tidak berguna, yang kadang malah mengurangi gerak dan kenyamanan di tubuh seseorang. Veblen juga mengajukan istilah pecuniary emultion (penyamaan kebutuhan- kebutuhan yang berkaitan dengan uang) di mana golongan yang tidak masuk pada leisure class berusaha menyamai perolehan atau pemakaian benda-benda tertentu dengan harapan bahwa mereka akan mencapai keadaan identitas manusia yang secara intrinsic lebih kaya dari orang-orang lain.
Veblen dalam bukunya “The Theory of the Leisure Class” melihat kapitalisme industri berkembang secara barbar, karena properti privat tidak lain merupakan barang rampasan yang diambil melalui kemenangan perang.
Kapitalisme seperti ini memunculkan abseente owner, yaitu para pemilik modal yang tidak mengerjakan apa-apa tetapi memperoleh hasil yang banyak. Dengan kata lain abseente owner tersebut memiliki atau menguasai sekelompok perusahaan-perusahaan yang beragam, tetapi idak mengelola sendiri perusahaan-perusahaan tersebut namun mempekerjakan para profesional dan teknisi. Selanjutnya mereka tinggal memetik dan menikmati hasil usaha perusahaannya, tanpa berbuat banyak.
2.4 Fokus Kajian Sosiologi tentang Konsumsi
Adapun fenomena-fenomena yang termasuk dalam fenomena konsumsi sebagai berikut:
1. Masyarakat Konsumsi
2. Budaya dan Konsumsi
3. Perilaku Konsumsi
4. Waktu Luang
5. Gaya Hidup
6. Fashion
7. Pariwara
8. Belanja: Sandang, Pangan, Minuman dan Rumah
9. Turisme
10. Ideologi Konsumsi (Liberal, Kapitalis, Komunis, Islam)
11. Politik Konsumsi
12. Konsumsi dan Mobilitas Sosial
13. Konsumsi dan Perubahan Sosial
2.5 Budaya dan Konsumsi Pada Masyarakat Pra kapitalis
Menurut Don Slater : bahwa konsumsi selalu dan di manapun dipandang sebagai suatu proses budaya. Konsumsi benda-benda tidak hanya sekedar memenuhi kebutuhan fisik-biologis semata,tetapi juga berkaitan dengan manfaat benda-benda atau obyek-obyek secara social budaya.
Dengan kata lain, kehidupan sosial individu-individu tidak terlepas dari hubungan dengan benda-benda yang diberi nilai pemaknaannya. Dalam kaitannya denhan pendapat Lury serta Douglas dan Isherwood tersebut, terdapat beberapa pemaknaan sosial terhadap konsumsi benda-benda dalam kehidupan sosial masyarakat pra-kapitalis:
1. Konsumsi sebagai Pembeda antara Kehidupan Profan dan Kehidupan Suci
Misalnya mengkonsumsi buah yang ada di atas meja makan mempunyai makna sebagai konsumsi dalam dunia profan, konsumsi dalam kehidupan keseharian. Sedangkan keranjang buah yang diletakkan di bawah pohon rindang yang besar dan angker yang biasa disebut dengan sesajen merupakan konsumsi di kehidupan suci atau di kehidupan Sakral.
2. Konsumsi sebagai Identitas
Rutherford (1990) dalam bukunya “Identity: Community, Culture, Difference” menyatakan bahwa identitas merupakan mata rantai masa lalu yang hubungan-hubungan sosial, kultural dan ekonomi dalam ruang dan waktu suatu
masyarakat hidup. Oleh karena itu identitas seseorang berkaitan dengan aspek sosial, budaya, ekonomi dan politik dari kehidupan pada konteks ruang dan waktu. Karena identitas berkait dengan konteks ruang dan waktu maka identitas tersebut dimiliki bersama dengan orang lain dalam konteks ruang dan waktu yang sama (inklusi) tetapi disisi lain terjadi eksklusi, yaitu mengeluarkan orang atau kelompok orang dari suatu kelompok identitas, karena perbedaan ruang dan waktu.
3. Konsumsi sebagai Stratifikasi Sosial
Stratifikasi Sosial didefinisikan sebagai penggolongan individu secara vertikal berdasarkan status yang dimiliki. Dalam dunia keseharian, status dapat merupakan sesuatu yang diusahakan atau juga dapat merupakan sebagai sesuatu yang diwariskan. Status yang diusahakan (achieved status) adalah statu yang dicapai melalui usaha atau perjuangan dari individu atau suatu kelompok dalam masyarakat. Sedangkan status yang diwarisi (ascribed status) merupakan status yang disebabkan oleh kelahiran seseorang dari orang yang berasal dari kelompok tertentu.
Dengan adanya Sratifikasi Sosial, maka tidak akan sama konsumsi wasit, pelatih, pemain atau penonton dalam lapangan, dan tidak akan sama juga konsumsi direktur, kepala bagian, karyawan, atasan dan bawahan di sebuah kantor.
2.6 Budaya dan Konsumsi Pada Masyarakat Kapitalis
Konsumsi pada era ini dianggap sebagai suatu respon terhadap dorongan homogenisasi dari mekanisasi dan teknologi. Orang-orang mulai menjadikan konsumsi sebagai upaya ekspresi diri yang penting, bahasa umum yang kita gunakan untuk mengkomunikasikan dan menginterpretasi tanda-tanda budaya ( kampunngan ).
Kapitalisme adalah suatu sistem dinamis dimana mekanisme yang didorong oleh laba mengarah pada revolusi yang terus berlanjut atas sarana produksi dan pembentukan pasar baru. Ada indikasi ekspansi besar-besaran dalam kapasitas produksi kaum kapitalis (pemegang modal).
Dengan mengikuti perkembangan kapitalisme, ketika berkualitas atau tidaknya suatu barang ditentukan oleh mahal atau tidaknya suatu barang itu, bukan nilai produk tersebut yang menentukan, melainkan nilai uanglah yang menentukan, karena uang adalah simbol kapitalisme.
budaya konsumen kapitalis dikaitkan dengan meningkatnya kebutuhan manusia untuk mengonsumsi yang bukan disebabkan semata-mata karena fungsi dan manfaat barang (produk), melainkan ada aspek lain yakni emosi dan larutnya individu dalam budaya massa dan popular yang dipicu oleh iklan dan rayuan untuk membeli komoditas yang dilakukan dengan massif. Jadi, budaya konsumen adalah jenis dari “budaya materi”, hal ini dikarenakan watak universal manusia yang berusaha mencukupi kebutuhan materialnya.
budaya konsumen ini sangat destruktif, yang mana berkaitan dengan hedonisme, mengejar kesenangan, penanaman gaya ekspresif, peningkatan kepribadian egoistic, sehingga dengan adanya budaya konsumen ini mengakibatkan kemiskinan spiritual, dan hedonistik dengan filsafatnya “nikmati sekarang, bayar belakang (live now, pay later)”.
2.7 Budaya Konsumen
Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni, Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas.
Budaya Konsumen merupakan istilah yang menyangkut tidak hanya perilaku konsumsi, tetapi adanya suatu proses reorganisasi bentuk dan isi produksi simbolis di dalamnya. Perilaku di sini bukan sebatas perilaku konsumen dalam artian pasif. Namun merupakan bentuk konsumsi produktif, yang menjanjikan kehidupan pribadi yang indah dan memuaskan, menemukan kepribadian melalui perubahan diri dan gaya hidup.
Budaya konsumen menekankan adaya suatu tempat dimana kesan memainkan peranan utama. Saat ini dapat kita lihat bahwa betapa banyak makna baru yang terkait dengan komoditi “material” melalui peragaan, pesan iklan, industri gambar hidup
serta berbagai jenis media massa. Dalam pembentukannya, kesan terus menerus diproses ulang dan makna barang serta pengalaman terus didefinisikan kembali. Tidak jarang tradisi juga “diaduk-aduk dan dikuras” untuk mencari simbol-simbol kecantikan, roman, kemewahan dan eksotika.
Budaya konsumen sangatlah erat kaitannya dengan ilmu ekonomi dan permasalahan ekonomi. Suatu barang terkadang digunakan untuk memperoleh prestise karena harganya sangat tinggi dan sukar diperoleh. Adapula barang seperti hadiah dan warisan yang tidak lagi dipandang sebagai barang yang diperdagangkan sehingga dianggap tidak berharga, dalam arti tidak pantas dipertimbangkan untuk menjualnya atau menetapkan harganya karena menimbulkan hubungan personal yang erat serta untuk membangkitkan memori tentang seseorang yang dicintainya.
Untuk mengerti budaya Konsumen sebgai fenomena sosial pada masyarakat modern, Slater mengidentifikasikan beberapa karakteristik yang dimiliki oleh budaya konsumen, yaitu antara lain:
1. Budaya Konsumen Merupakan Suatu Budaya dari Konsumsi
Ide dari budaya konsumen adalah dalam dunia modern, praktek sosial dan nilai budaya inti, ide-ide, aspirasi-aspirasi, dan identitas didefinisikan dan diorientasikan pada konsumsi daripada kepada dimensi sosial lainnya seperti kerja, kewarganegaraan, kosmologi keagamaan, peranan militer dan seterusnya.
2. Budaya Konsumen sebagai Budaya dari Masyarakat Pasar
Dalam masyarakat pasar, barang-barang, jasa-jasa, dan pengalaman-pengalaman diproduksi agar dapat dijual di pasar kepada konsumen.
3. Budaya Konsumen adalah, Secara Prinsip, Universal, dan Impersonal
Semua hubungan sosial, kegiatan dan objek secara prinsip dapat dijadikan komoditas. Sebagai komoditas, dia diproduksi dan didistribusikan dengan cara impersonal, tanpa melihat orang perorang atau secara pribadi, ditujukan saja kapada konsumen yang membutuhkan atau di buat menjadi membutuhkan.
4. Budaya Konsumen Merupakan Media bagi Hak Istimewa dari Identitas dan Status dalam Masyarakat Pascatradisional
Budaya konsumen bukan diwariskan seperti posisi sosial yang melekat karena kelahiran dalam masyarakat tradisional, tetapi ia dinegosiasi dan dikonstruksi oleh individu dalam hubungannya dengan orang lain.
5. Budaya Konsumen Merepresentasikan Pentingnya Budaya dalam Penggunaan Kekuatan Modern
Budaya konsumen mencakup tanda, gambaran, dan publisitas. Sebab itu pula, ia meliputi estesisasi komoditas dan lingkungan seperti penggunaan iklan, pengepakan, tata letak barang di toko, disain barang, penggunaan estalase, dan seterusnya.
6. Kebutuhan Konsumen Secara Prinsip Tidak Terbatas dan Tidak Terpuaskan
Dalam budaya konsumen, kebutuhan yang tidak terbatas dipandang tidak hanya suatu hal yang normal tetapi juga diperlukan bagi tuntutan dan perkembangan sosial ekonomi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Konsumsi adalah suatu kegiatan yang bertujuan mengurangi atau menghabiskan nilai guna suatu barang dan jasa dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sedangkan konsumen adalah orang yang mengkonsumsi barang dan jasa hasil produksi untuk memenuhi kebutuhannya.
Konsumsi berhubungan dengan masalah selera, identitas dan gaya hidup. Konsumsi dapat membentuk identitas seseorang dari barang-barang simbolis yang ia konsumsi. Hubungan antara konsumsi dan gaya hidup terbentuk ketika kita melihat seseorang dalam mengkonsumsi suatu barang maka akan terlihat bagaimana gaya hidup mereka. Selain itu konsumsi dapat juga dijadikan acuan dalam penjenjangan suatu kelas social.
Ciri Ciri Barang Konsumsi
A. Barang konsumsi untuk mempeorlehnya diperlukan pengorbanan (barang ekonomi)
B. Barang konsumsi dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
C. Manfaat nilai atau jumlah barang yang digunakan tersebut akan habis sekaligus atau berangsur-angsur.
B. Barang konsumsi dikerjakan untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia.
C. Manfaat nilai atau jumlah barang yang digunakan tersebut akan habis sekaligus atau berangsur-angsur.
Benda atau barang konsumsi dapat dibedakan sebagai berikut :
A. Barang yang habis dalam sekali pemakaian, misalnya makanan, minuman, dan obat-obatan.
A. Barang yang habis dalam sekali pemakaian, misalnya makanan, minuman, dan obat-obatan.
B. Barang yang pemakaiannya berulang-ulang atau dalam waktu relative lama, misalnya pakaian, sepatu dan tas.
Tujuan kegiatan konsumsi :
a. Mengurangi nilai guna suatu barang dan jasa secara bertahap.
b. Menghabiskan atau mengurangi nilai guna suatu barang sekaligus.
c. Memuaskan kebutuhan jasmani dan rohani
Di dalam lingkup sosiologi konsumsi mendefinisikan konsumsi sebagai :
a) Suatu kajian yang mempelajari hubungan antara masyarakat yang di dalamnya terjadi interaksi sosial dengan konsumsi dan
b) Pendekatan sosiologis yang diterapkan pada fenomena konsumsi.Sosiologi konsumsi sebagai kajian dapat dilihat bagaimana masyarakat mempengaruhi konsumsi dan bagaimana konsumsi mempengaruhi masyarakat. Masyarakat sebagai realitas eksternal akan menunutun individu dalam menentukan apa yang boleh dikonsumsi, bagaimana cara mengkonsumsinya dan dimana dapat mengkonsumsi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar