Teori
sosiologi modern merupakan bagian dari teori sosiologi klasik. Teori
ini membahas mengenai tokoh-tokoh sosiologi yang mengembangkan
teori-teori sosiologi. Namun untuk mempermudah pemahaman kita maka perlu
dibahas tiga paradigma sosiologi, yaitu paradigma fakta sosial,
paradigma definisi sosial, dan paradigma perilaku sosial, sebagai
permulaan sebelum membahas teori sosiologi modern.
Pertama-tama
yang akan dibahas adalah tokoh teori fungsionalisme yakni Talcott
Parsons dan Robert K. Merton. Teori fungsionalisme menekankan
pemikirannya pada analogi antara struktur masyarakat dengan organisme
biologis, sedangkan tokoh dari teori konflik yang akan dibahas adalah
pemikiran teori konflik dari Ralf Dahrendorf dan Lewis Coser. Teori
konflik lebih menekankan pada pertentangan antarkelas untuk
memperebutkan sumber daya yang langka. Kemudian mengenai teori
pertukaran sosial dari George C. Homans dan Peter M. Blau. Teori
pertukaran menekankan pada prinsip pertukaran yang terjadi dalam proses
interaksi sosial di masyarakat.
Selain
itu, teori interaksionisme simbolik menekankan pada penggunaan
simbol-simbol dalam interaksi sosial. Teori interaksionisme ini mulai
dari teori dari William James, Charles Horton Cooley, dan John Dewey,
teori interaksionisme menurut George Herbet Mead, dan teori
interaksionisme simbolik menurut William Issac Thomas dan Herbert
Blumer. Pembahasan teori interaksionisme simbolik diakhiri dengan teori
interaksionisme dari Erving Goffman dan Peter L. Berger.
Sebagai
penutup pembahasan akan diakhiri dengan pemikiran postmodernisme dan
teori feminisme kontemporer. Pembahasan postmodernisme membahas mengenai
batasan pemikiran postmodernisme, aspek budaya masyarakat postmodern,
dan tokoh-tokoh pemikiran postmodernisme, sedangkan teori feminisme
kontemporer membahas mengenai teori-teori sosiologi yang berkaitan
dengan masalah gender dan teori-teori feminisme yang berkembang dalam
masyarakat.
Paradigma Sosiologi dan Teori Pendekatannya
Sebagaimana
telah disinggung sebelumnya, sebagai langkah awal pembahasan untuk
mempermudah pemahaman kita mengenai teori sosiologi modern adalah kita
harus mengetahui mengenai paradigma terlebih dahulu. Istilah paradigma kali pertama diintrodusir oleh Thomas S. Kuhn dalam “The Structure of Scientific Revolution”
tahun 1962 yang diterjemahkan “Peran Paradigma dalam Revolusi Sains”
tahun 1989. Kuhn tdk menjelaskan makna paradigma dengan jelas, baru oleh
Mastermann konsep paradigma Kuhn diklasifikasi menjadi tiga hal, yaitu:
Pertama, Paradigma metafisik (metaphisical paradigm).
Paradigma Metafisik memerankan fungsi, menunjuk kepada sesuatu yang
pusat perhatian komunitas ilmuwan, menunjuk kepada komunitas ilmuwan
yang memusatkan perhatian untuk menemukan sesuatu yang ada, serta
menunjuk pada ilmuwan yang berharap menemukan sesuatu yang
sungguh-sungguh ada. Kedua, Paradigma sosiologis (sociological paradigm),
yakni paradigma sosiologi yang mengacu pada pengertian keragaman
fenomena yang menjadi kajian ilmuwan yang hasilnya diterima oleh ilmuwan
dibidangnya. Ketiga, Paradigma konstruk (construct paradigm). Paradigma konstruk ialah konsep yang paling sempit berkaitan dengan ilmu tertentu.
Oleh
karena ketidakjelasan Kuhn dalam menjelaskan Paradigma, maka Robert
Friedrichs kali pertama menjelaskan paradigma sebagai pandangan mendasar
dari satu disiplin ilmu tentang apa yang semestinya dipelajari “a fundamental image a dicipline has of its subject matter”.
Secara
umum, paradigma adalah suatu pandangan yang fundamental (mendasar,
prinsipiil, radikal) tentang sesuatu yang menjadi pokok permasalahan
dalam ilmu pengetahuan. Kemudian, bertolak dari suatu paradigma atau
asumsi dasar tertentu seorang yang akan menyelesaikan permasalahan dalam
ilmu pengetahuan tersebut membuat rumusan, baik yang menyangkut pokok
permasalahannya, metodenya agar dapat diperoleh jawaban yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Menurut George Ritzer paradigma dalam sosiologi, yaitu :
a) Paradigma
fakta sosial, menyatakan bahwa struktur yang terdalam masyarakat
mempengaruhi individu dan dikembangkan oleh Emile Durkheim dalam “The Rules of Sociological Method” tahun 1895 dan “Suicide”
tahun 1897. Ia mengkritik sosiologi yang didominasi Auguste Comte
dengan positivismenya bahwa sosiologi dikaji berdasarkan pemikiran,
bukan fakta lapangan. Durkheim menempatkan fakta sosial sebagai sasaran
kajian sosiologi yang harus melalui kajian lapangan (field research) bukan
dengan penalaran murni. Teori-teori dlm paradigma ini adalah: teori
Fungsional Struktural, teori Konflik, teori Sosiologi Makro, dan teori
Sistem.Yang menjadi kajian paradigma Fakta Sosial adalah: Struktur
Sosial dan Pranata Sosial. Struktur sosial mencakup jaringan hubungan
sosial dimana interaksi terjadi & terorganisir serta melalui mana
posisi sosial individu dan sub-kelompok dibedakan. Sedangkan pranata
sosial mencakup norma & pola nilai Empat Proposisi yg mendukung
kelompok sbg fakta sosial
1. Kelompok dilihat melalui sekumpulan individu.
2. Kelompok tersusun atas beberapa individu.
3. Fenomena sosial hanya memiliki realitas dlm individu, dan
4. Tujuan mempelajari kelompok utk membantu menerangkan/meramalkan tindakan individu.
b. Paradigma
definisi sosial yang menyatakan bahwa pemikiran individu dalam
masyarakat mempengaruhi struktur yang ada dalam masyarakat. Dalam hal
ini sekalipun struktur juga berpengaruh terhadap pemikiran individu,
akan tetapi yang berperanan tetap individu dan pemikirannya. Tokohnya
adalah Max Weber yg menganalisis tindakan social (social action).
Tindakan sosial adalah tindakan individu terhadap orang lain yang
memiliki makna untuk dirinya sendiri dan orang lain. Kata kuncinya “tindakan yang penuh arti”.
Weber tidak memisahkan antara struktur dan pranata sosial karena
keduanya membantu manusia membentuk tindakan yang penuh makna. Untuk
mengkajinya digunakan metode “analisis pemahaman” (interpretative understanding). Teori-teori yg tergabung dalam paradigma ini adalah Fenomenologi, Interaksionisme simbolik, Etnometodologi, dan Dramaturgi.
c. Paradigma
perilaku sosial yang menyatakan bahwa perilaku keajegan dari individu
yang terjadi di masyarakat merupakan suatu pokok permasalahan. Dalam hal
ini interaksi antarindividu dengan lingkungannya akan membawa akibat
perubahan perilaku individu yang bersangkutan. Tokohnya B.F. Skinner.
Obyek Sosiologi adalah perilaku manusia yg tampak serta kemungkinan
perulangannya (hubungan antar individu & lingkungannya). Perilaku
sosial (X) tindakan sosial. Perilaku sosial: mekanisme stimulus dan
respon, tindakan sosial: aktor hanya penanggap pasif dari stimulus yang
datang padanya. Teori yang tergabung yakni Sosiologi Behavioral dengan
konsep “reinforcement” dan proposisi “reward and punishment”, serta teori Exchange dengan asumsi selalu ada “take and give” dalam dunia sosial.
Aktor (Perilaku Sosial): hanya sekedar memproduksi kelakuan.
Agen (Definisi Sosial): mereproduksi & memproduksi tindakan
Paradigma
dalam sosiologi sebagaimana dikemukakan tersebut akan menyebabkan
adanya berbagai macam teori dan metode dalam pendekatannya.
Pengertian Sosiologi
Sosiologi
adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang kehidupan bersama dalam
masyarakat. Dalam masyarakat terdapat individu, keluarga, kelompok,
organisasi, aturan-aturan dan lembaga-lembaga, yang kesemuanya itu
merupakan suatu kebulatan yang utuh. Dalam hal ini sosiologi ingin
mengetahui kehidupan bersama dalam masyarakat, baik yang menyangkut
latar belakang, permasalahan dan sebabmusababnya. Untuk mengetahui
kehidupan bersama tersebut diperlukan suatu teori.
Lahirnya
sosiologi dihubungkan dengan perubahan-perubahan yang terjadi di Eropa
Barat, baik yang menyangkut tumbuhnya kapitalisme pada akhir abad XV,
perubahan sosial politik, reformasi Martin Luther, meningkatnya
individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya
kepercayaan pada diri sendiri, adanya Revolusi Industri maupun Revolusi
Perancis.
Sosiologi
sebagai ilmu yang mempelajari kehidupan bersama dalam masyarakat akan
senantiasa berkembang terus, terutama apabila masyarakat menghadapi
ancaman terhadap pedoman yang pada masanya telah mereka gunakan. Krisis
yang demikian cepat atau lambat akan melahirkan pemikiran sosiologis.
Bertolak
dari kenyataan yang demikian dapatlah dikatakan bahwa
pemikiran-pemikiran sosiologis terjadi sejak awal XVIII berkenaan dengan
adanya industrialisasi, urbanisasi, kapitalisme dan sosialisme yang
menyebabkan adanya perubahan-perubahan sosial.
Pengertian Teori
Teori
adalah seperangkat pernyataan-pernyataan yang secara sistematis
berhubungan atau sering dikatakan bahwa teori adalah sekumpulan konsep,
definisi, dan proposisi yang saling kait-mengait yang menghadirkan suatu
tinjauan sistematis atas fenomena yang ada dengan menunjukkan hubungan
yang khas di antara variabel-variabel dengan maksud memberikan
eksplorasi dan prediksi. Di samping itu, ada yang menyatakan bahwa teori
adalah sekumpulan pernyataan yang mempunyai kaitan logis, yang
merupakan cermin dari kenyataan yang ada mengenai sifat-sifat suatu
kelas, peristiwa atau suatu benda.
Teori
harus mengandung konsep, pernyataan (statement), definisi, baik itu
definisi teoretis maupun operasional dan hubungan logis yang bersifat
teoretis dan logis antara konsep tersebut. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa dalam teori di dalamnya harus terdapat konsep, definisi
dan proposisi, hubungan logis di antara konsep-konsep, definisi-definisi
dan proposisi-proposisi yang dapat digunakan untuk eksplorasi dan
prediksi.
Suatu
teori dapat diterima dengan dua kriteria pertama, yaitu kriteria ideal,
yang menyatakan bahwa suatu teori akan dapat diakui jika memenuhi
persyaratan. Kedua, yaitu kriteria pragmatis yang menyatakan bahwa
ide-ide itu dapat dikatakan sebagai teori apabila mempunyai paradigma,
kerangka pikir, konsep-konsep, variabel, proposisi, dan hubungan antara
konsep dan proposisi.
Pembahasan :
1. Teori Fungsionalisme Struktural Talcott Parsons
Talcott
Parsons adalah seorang sosiolog kontemporer dari Amerika yang
menggunakan pendekatan fungsional dalam melihat masyarakat, baik yang
menyangkut fungsi dan prosesnya. Pendekatannya selain diwarnai oleh
adanya keteraturan masyarakat yang ada di Amerika juga dipengaruhi oleh
pemikiran Auguste Comte, Emile Durkheim, Vilfredo Pareto dan Max Weber.
Hal tersebut di ataslah yang menyebabkan Teori Fungsionalisme Talcott
Parsons bersifat kompleks.
Asumsi
dasar dari Teori Fungsionalisme Struktural, yaitu bahwa masyarakat
terintegrasi atas dasar kesepakatan dari para anggotanya akan
nilai-nilai kemasyarakatan tertentu yang mempunyai kemampuan mengatasi
perbedaan-perbedaan sehingga masyarakat tersebut dipandang sebagai suatu
sistem yang secara fungsional terintegrasi dalam suatu keseimbangan.
Dengan demikian masyarakat adalah merupakan kumpulan sistem-sistem
sosial yang satu sama lain berhubungan dan saling ketergantungan.
Teori
Fungsionalisme Struktural yang mempunyai latar belakang kelahiran
dengan mengasumsikan adanya kesamaan antara kehidupan organisme biologis
dengan struktur sosial dan berpandangan tentang adanya keteraturan dan
keseimbangan dalam masyarakat tersebut dikembangkan dan dipopulerkan
oleh Talcott Parsons.
Tindakan Sosial dan Orientasi Subjektif
Teori
Fungsionalisme Struktural yang dibangun Talcott Parsons dan dipengaruhi
oleh para sosiolog Eropa menyebabkan teorinya itu bersifat empiris,
positivistis dan ideal. Pandangannya tentang tindakan manusia itu
bersifat voluntaristik, artinya karena tindakan itu didasarkan pada
dorongan kemauan, dengan mengindahkan nilai, ide dan norma yang
disepakati. Tindakan individu manusia memiliki kebebasan untuk memilih
sarana (alat) dan tujuan yang akan dicapai itu dipengaruhi oleh
lingkungan atau kondisi-kondisi, dan apa yang dipilih tersebut
dikendalikan oleh nilai dan norma.
Prinsip-prinsip
pemikiran Talcott Parsons, yaitu bahwa tindakan individu manusia itu
diarahkan pada tujuan. Di samping itu, tindakan itu terjadi pada suatu
kondisi yang unsurnya sudah pasti, sedang unsur-unsur lainnya digunakan
sebagai alat untuk mencapai tujuan. Selain itu, secara normatif tindakan
tersebut diatur berkenaan dengan penentuan alat dan tujuan. Atau dengan
kata lain dapat dinyatakan bahwa tindakan itu dipandang sebagai
kenyataan sosial yang terkecil dan mendasar, yang unsur-unsurnya berupa
alat, tujuan, situasi, dan norma. Dengan demikian, dalam tindakan
tersebut dapat digambarkan yaitu individu sebagai pelaku dengan alat
yang ada akan mencapai tujuan dengan berbagai macam cara, yang juga
individu itu dipengaruhi oleh kondisi yang dapat membantu dalam memilih
tujuan yang akan dicapai, dengan bimbingan nilai dan ide serta norma.
Perlu diketahui bahwa selain hal-hal tersebut di atas, tindakan individu
manusia itu juga ditentukan oleh orientasi subjektifnya, yaitu berupa
orientasi motivasional dan orientasi nilai. Perlu diketahui pula bahwa
tindakan individu tersebut dalam realisasinya dapat berbagai macam
karena adanya unsur-unsur sebagaimana dikemukakan di atas.
Analisis Struktural Fungsional dan Diferensiasi Struktural
Sebagaimana
telah diuraikan di muka, bahwa Teori Fungsionalisme Struktural
beranggapan bahwa masyarakat itu merupakan sistem yang secara fungsional
terintegrasi ke dalam bentuk keseimbangan. Menurut Talcott Parsons
dinyatakan bahwa yang menjadi persyaratan fungsional dalam sistem di
masyarakat dapat dianalisis, baik yang menyangkut struktur maupun
tindakan sosial, adalah berupa perwujudan nilai dan penyesuaian dengan
lingkungan yang menuntut suatu konsekuensi adanya persyaratan
fungsional.
Perlu
diketahui ada fungsi-fungsi tertentu yang harus dipenuhi agar ada
kelestarian sistem, yaitu adaptasi, pencapaian tujuan, integrasi dan
keadaan latent. Empat persyaratan fungsional yang mendasar tersebut
berlaku untuk semua sistem yang ada. Berkenaan hal tersebut di atas,
empat fungsi tersebut terpatri secara kokoh dalam setiap dasar yang
hidup pada seluruh tingkat organisme tingkat perkembangan evolusioner.
Perlu
diketahui pula bahwa sekalipun sejak semula Talcott Parsons ingin
membangun suatu teori yang besar, akan tetapi akhirnya mengarah pada
suatu kecenderungan yang tidak sesuai dengan niatnya. Hal tersebut
karena adanya penemuan-penemuan mengenai hubungan-hubungan dan hal-hal
baru, yaitu yang berupa perubahan perilaku pergeseran prinsip
keseimbangan yang bersifat dinamis yang menunjuk pada sibernetika teori
sistem yang umum. Dalam hal ini, dinyatakan bahwa perkembangan
masyarakat itu melewati empat proses perubahan struktural, yaitu
pembaharuan yang mengarah pada penyesuaian evolusinya Talcott Parsons
menghubungkannya dengan empat persyaratan fungsional di atas untuk
menganalisis proses perubahan.
Perlu
diketahui bahwa sekalipun Talcott Parsons telah berhasil membangun
suatu teori yang besar untuk mengadakan pendekatan dalam masyarakat,
akan tetapi ia tidak luput dari serangkaian kritikan, baik dari mantan
muridnya Robert K. Merton, ataupun sosiolog lain, yaitu George Homans,
Williams Jr., dan Alvin Gouldner, sebagaimana telah dikemukakan dalam
uraian di muka.
2. Teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton
Strategi Dasar Analisis Strukturalisme Fungsional
Teori
Fungsionalisme Struktural yang dikemukakan oleh Robert K. Merton
ternyata memiliki perbedaan apabila dibandingkan dengan pemikiran
pendahulu dan gurunya, yaitu Talcott Parsons. Apabila Talcott Parsons
dalam teorinya lebih menekankan pada orientasi subjektif individu dalam
perilaku maka Robert K. Merton menitikberatkan pada
konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku.
Menurut
Robert K. Merton konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu dalam
perilaku itu ada yang mengarah pada integrasi dan keseimbangan (fungsi manifest),
akan tetapi ada pula konsekuensi-konsekuensi objektif dari individu
dalam perilaku itu yang tidak dimaksudkan dan tidak diketahui. Oleh
karena itu, menurut pendapatnya konsekuensi-konsekuensi objek dari
individu dalam perilaku tersebut ada yang bersifat fungsional dan ada
pula yang bersifat disfungsional.
Anggapan
yang demikian itu merupakan ciri khas yang membedakan antara pendekatan
Robert K. Merton dengan pendekatan fungsionalisme struktural yang
lainnya. perlu diketahui bahwa Teori Fungsional Taraf Menengah yang ia
cetuskan tersebut, merupakan pendekatan yang sesuai untuk meneliti
hal-hal yang bersifat kecil atau khusus dan bersifat empiris dalam
sosiologi.
Disfungsi dan Perubahan Sosial
Menurut
Robert K. Merton dinyatakan bahwa konsekuensi-konsekuensi objektif dari
individu dalam perilaku dapat bersifat fungsional dan dapat pula
bersifat disfungsional. Konsekuensi objektif dari individu dalam
perilaku mampu mengarah pada integrasi dan keseimbangan, sedangkan
konsekuensi objektif dari individu dalam perilaku yang bersifat
disfungsional akan memperlemah integrasi.
Konsekuensi-konsekuensi
objektif yang bersifat disfungsional akan menyebabkan timbulnya
ketegangan atau pertentangan dalam sistem sosial. Ketegangan tersebut
muncul akibat adanya saling berhadapan antara konsekuensi yang bersifat
disfungsional. Dengan adanya ketegangan tersebut maka akan mengundang
munculnya struktur dari yang bersifat alternatif sebagai substitusi
untuk menetralisasi ketegangan.
Perlu
diketahui bahwa adanya ketegangan-ketegangan yang mengakibatkan adanya
struktur-struktur baru tersebut akan berarti bahwa konsekuensi objektif
yang bersifat disfungsional itu akan mengakibatkan adanya
perubahan-perubahan sosial. Di samping itu disfungsi juga akan
menyebabkan timbulnya anomie dan masalah sosial. Kenyataan tersebut juga
mengandung arti timbulnya struktur-struktur baru, yang pada hakikatnya
menunjukkan adanya perubahan sosial yang mengarah pada perbaikan tatanan
dalam masyarakat.
Kelompok Referensi (Reference Group)
Teori
Fungsionalisme Robert K. Merton yang menekankan pada konsekuensi
objektif dari individu dalam berperilaku. Keharusan adanya konsekuensi
objektif baik fungsional maupun disfungsional dan harus adanya
konsep-konsep alternatif fungsional dalam pelaksanaan analisisnya, tepat
apabila diterapkan pada masyarakat yang memiliki perbedaan-perbedaan di
antara kelompok-kelompok yang ada. Oleh karena itu, Robert K. Merton
mengemukakan suatu Teori Kelompok Referensi yang digunakan sebagai
penilaian dirinya dan pembanding serta menjadi bimbingan moral. Teori
Kelompok Referensi (Reference Group Theory) yang terdiri dari Kelompok
Referensi Normatif, Kelompok Referensi Komparatif dan ada bentuk lain,
yaitu kelompok keanggotaan (Membership Reference Group). Kelompok
Referensi Normatif, yaitu suatu kelompok yang menempatkan
individu-individu mengambil standar normatif dan standar moral,
sedangkan Kelompok Referensi Komparatif, yaitu kelompok yang memberikan
kepada individu-individu suatu kerangka berpikir untuk menilai posisi
sosialnya dalam hubungannya dengan posisi sosial orang lain. Sementara
Kelompok Keanggotaan, yaitu menunjuk pada suatu kelompok yang
menempatkan bahwa individu itu sebagai anggotanya.
3. Teori Konflik Ralf Dahrendorf
Pemikiran tentang Otoritas dan Konflik Sosial
Teori
Konflik Ralf Dahrendorf tidak bermaksud untuk mengganti teori
konsensus. Dasar Teori Konflik Dahrendorf adalah penolakan dan
penerimaan sebagian serta perumusan kembali teori Karl Marx yang
menyatakan bahwa kaum borjuis adalah pemilik dan pengelola sistem
kapitalis, sedangkan para pekerja tergantung pada sistem tersebut.
Pendapat yang demikian mengalami perubahan karena pada abad ke-20 telah
terjadi pemisahan antara pemilikan dan pengendalian sarana-sarana
produksi. Kecuali itu,, pada akhir abad ke-19 telah menunjukkan adanya
suatu pertanda bahwa para pekerja tidak lagi sebagai kelompok yang
dianggap sama dan bersifat tunggal karena pada masa itu telah lahir para
pekerja dengan status yang jelas dan berbeda-beda, dalam arti ada
kelompok kerja tingkat atas dan ada pula kelompok kerja tingkat bawah.
Hal yang demikian merupakan sesuatu yang berada di luar pemikiran Karl
Marx.
Selain
itu, Karl Marx sama sekali tidak membayangkan bahwa dalam perkembangan
selanjutnya akan lahir serikat buruh dengan segenap mobilitas sosialnya,
yang mampu meniadakan revolusi buruh. Perlu diketahui bahwa dalam suatu
perusahaan ada pimpinan dan ada para pekerja yang pada suatu saat dapat
saja terjadi konflik. Akan tetapi dengan adanya pengurus dari
organisasi tenaga kerja tersebut untuk mengadakan perundingan dengan
pimpinan perusahaan maka konflik dapat dihindari.
Pendekatan
Ralf Dahrendorf berlandaskan pada anggapan yang menyatakan bahwa semua
sistem sosial itu dikoordinasi secara imperatif. Dalam hal ini,
koordinasi yang mengharuskan adanya otoritas merupakan sesuatu yang
sangat esensial sebagai suatu yang mendasari semua organisasi sosial.
Berkenaan dengan hal tersebut maka dalam suatu sistem sosial
mengharuskan adanya otoritas, dan relasi-relasi kekuasaan yang
menyangkut pihak atasan dan bawahan akan menyebabkan timbulnya kelas.
Dengan demikian maka tampaklah bahwa ada pembagian yang jelas antara
pihak yang berkuasa dengan pihak yang dikuasai. Keduanya itu mempunyai
kepentingan yang berbeda dan bahkan mungkin bertentangan. Selanjutnya,
perlu diketahui bahwa bertolak dari pengertian bahwa menurut Ralf
Dahrendorf kepentingan kelas objektif dibagi atas adanya kepentingan
manifest dan kepentingan latent maka dalam setiap sistem sosial yang
harus dikoordinasi itu terkandung kepentingan latent yang sama, yang
disebut kelompok semu yaitu mencakup kelompok yang menguasai dan
kelompok yang dikuasai.
Intensitas dan Kekerasan
Teori
Konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf juga membahas tentang
intensitas bagi individu atau kelompok yang terlibat konflik. Dalam hal
ini, intensitas diartikan sebagai suatu pengeluaran energi dan tingkat
keterlibatan dari pihak-pihak atau kelompok-kelompok yang terlibat dalam
konflik. Ada dua faktor yang dapat mempengaruhi intensitas konflik,
yaitu (1) tingkat keserupaan konflik, dan (2) tingkat mobilitas.
Selain
itu Teori Konflik Ralf Dahrendorf juga membicarakan tentang kekerasan
dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Konsep tentang kekerasan, yaitu
menunjuk pada alat yang digunakan oleh pihak-pihak yang saling
bertentangan untuk mengejar kepentingannya. Tingkat kekerasan mempunyai
berbagai macam perwujudan, dalam arti mulai dari cara-cara yang halus
sampai pada bentuk-bentuk kekerasan yang bersifat kejasmanian.
Perlu
diketahui bahwa menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa
salah satu faktor yang sangat penting yang dapat mempengaruhi tingkat
kekerasan dalam konflik kelas, yaitu tingkat yang menyatakan bahwa
konflik itu secara tegas diterima dan diatur. Pada hakikatnya konflik
tidak dapat dilenyapkan karena perbedaan di antara mereka merupakan
sesuatu yang harus ada dalam struktur hubungan otoritas. Konflik yang
ditutup-tutupi, cepat atau lambat pasti akan muncul, dan apabila upaya
penutupan itu secara terus-menerus maka dapat menyebabkan ledakan
konflik yang hebat. Berdasarkan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk
saluran-saluran yang berfungsi membicarakan penyelesaian konflik.
Pengertian Konflik
Konflik
dapat mengakibatkan adanya perubahan dalam struktur relasi-relasi
sosial, apabila kondisi-kondisi tertentu telah dipenuhi. Teori Konflik
Ralf Dahrendorf menyatakan bahwa konsekuensi atau fungsi konflik, yaitu
dapat mengakibatkan adanya perubahan sosial, khusus yang berkaitan
dengan struktur otoritas. Ada tiga tipe perubahan struktur, yaitu (1)
perubahan keseluruhan personil dalam posisi dominasi; (2) perubahan
sebagian personil dalam posisi dominasi, dan (3) digabungkannya
kepentingan-kepentingan kelas subordinat dalam kebijaksanaan kelas yang
mendominasi.
Selain
itu menurut Teori Konflik Ralf Dahrendorf dinyatakan bahwa perubahan
struktural itu dapat digolongkan berdasarkan tingkat ekstremitasnya dan
berdasarkan tingkat mendadak atau tidaknya. Dalam hal ini Ralf
Dahrendorf mengakui bahwa teorinya yang menekankan pada konflik dan
perubahan sosial merupakan perspektif kenyataan sosial yang berat
sebelah. Hal tersebut karena meskipun Teori Fungsionalisme Struktural
dan Teori Konflik dianggap oleh Ralf Dahrendorf sebagai perspektif valid
dalam menghampiri kenyataan sosial, akan tetapi hanya mencakup sebagian
saja dari kenyataan sosial yang seharusnya. Kedua teori tersebut tidak
lengkap apabila digunakan secara terpisah, dan oleh karena itu harus
digunakan secara bersama-sama, agar dapat memperoleh gambaran kenyataan
sosial yang lengkap.
4. Teori Konflik Lewis A. Coser
Konflik dan Solidaritas
Semula
Lewis A. Coser menitikberatkan perhatiannya pada pendekatan
fungsionalisme struktural dan mengabaikan konflik. Menurut pendapatnya
bahwa sebenarnya struktur-struktur itu merupakan hasil kesepakatan, akan
tetapi di sisi lain ia juga menyatakan adanya proses-proses yang tidak
merupakan kesepakatan, yaitu yang berupa konflik. Lewis A. Coser ingin
membangun suatu teori yang didasarkan pada pemikiran George Simmel.
Menurut pendapatnya dinyatakan bahwa konflik adalah perselisihan
mengenai nilai-nilai atau tuntutan-tuntutan yang berkenaan dengan
status, kuasa dan sumber-sumber kekayaan yang persediaannya tidak
mencukupi. Konflik dapat terjadi antarindividu, antarkelompok dan
antarindividu dengan kelompok. Baginya konflik dengan luar (out group)
dapat menyebabkan mantapnya batas-batas struktural, akan tetapi di lain
pihak konflik dengan luar (out group) akan dapat memperkuat integrasi
dalam kelompok yang bersangkutan.
Konflik
antara suatu kelompok dengan kelompok lain dapat menyebabkan
solidaritas anggota kelompok dan integrasi meningkat, dan berusaha agar
anggota-anggota jangan sampai pecah. Akan tetapi, tidaklah demikian
halnya apabila suatu kelompok tidak lagi merasa terancam oleh kelompok
lain maka solidaritas kelompok akan mengendor, dan gejala kemungkinan
adanya perbedaan dalam kelompok akan tampak. Di sisi lain, apabila suatu
kelompok selalu mendapat ancaman dari kelompok lain maka dapat
menyebabkan tumbuh dan meningkatnya solidaritas anggota-anggota
kelompok.
Konflik dan Solidaritas Kelompok
Menurut
Lewis A. Coser dinyatakan bahwa konflik internal menguntungkan kelompok
secara positif. la menyadari bahwa dalam relasi-relasi sosial
terkandung antagonisme, ketegangan atau perasaan-perasaan negatif
termasuk untuk relasi-relasi kelompok dalam, (in group) yang di dalamnya
terkandung relasi-relasi intim yang lebih bersifat parsial.
Perlu
diketahui bahwa semakin dekat hubungan akan semakin sulit rasa
permusuhan itu diungkapkan. Akan tetapi semakin lama perasaan ditekan
maka mengungkapkannya untuk mempertahankan hubungan itu sendiri. Mengapa
demikian karena dalam suatu hubungan yang intim keseluruhan kepribadian
sangat boleh jadi terlihat sehingga pada saat konflik meledak, mungkin
akan sangat keras.
Konflik
akan senantiasa ada sejauh masyarakat itu masih mempunyai dinamikanya.
Adapun yang menyebabkan timbulnya konflik, yaitu karena adanya
perbedaan-perbedaan, apakah itu perbedaan kemampuan, tujuan,
kepentingan, paham, nilai, dan norma. Di samping itu, konflik juga akan
terjadi apabila para anggota kelompok dalam (in group) terdapat
perbedaan. Akan tetapi, tidak demikian halnya apabila para anggota
kelompok dalam (in group) mempunyai kesamaan-kesamaan.
Perbedaan-perbedaan
antara para anggota kelompok dalam (in group) tersebut dapat pula
disebabkan oleh adanya perbedaan pengertian mengenai konflik karena
konflik itu bersifat negatif dan merusak integrasi. Akan tetapi, ada
pula pengertian dari anggota kelompok dalam (in group) bahwa karena
adanya perbedaan-perbedaan kepentingan maka konflik akan tetap ada.
Perlu diketahui bahwa suatu kelompok yang sering terlibat dalam suatu
konflik terbuka, hal tersebut sesungguhnya memiliki solidaritas yang
lebih besar jika dibandingkan dengan kelompok yang tidak terlibat
konflik sama sekali.
Konsekuensi Konflik
Konflik
merupakan suatu fenomena kemasyarakatan yang senantiasa ada dalam
kehidupan bersama. Sebenarnya konflik tidak usah dilenyapkan, akan
tetapi perlu dikendalikan konflik akan senantiasa ada di masyarakat, hal
tersebut karena dalam masyarakat itu terdapat otoritas. Hal tersebut
dikandung maksud bahwa apabila di suatu pihak bertambah otoritasnya maka
di lain pihak akan berkurang otoritasnya. Selain itu juga karena adanya
perbedaan kepentingan antara kelompok satu dengan kelompok yang lain.
Konflik
dapat dikendalikan apabila kelompok yang terlibat dalam konflik dapat
menyadari adanya konflik, dan perlu dilaksanakannya prinsip-prinsip
keadilan. Di samping itu juga harus terorganisasi secara baik terutama
yang menyangkut semua kekuatan sosial yang bertentangan. Dalam hal ini,
apabila upaya pengendalian konflik itu tidak dilakukan maka konflik yang
tertekan yang tidak tampak di permukaan, dapat meledak sewaktu-waktu
dan merupakan tindakan kekerasan. Konflik yang tertekan dapat
menyebabkan putusnya hubungan, dan apabila emosionalnya meninggi maka
putusnya hubungan tersebut dapat meledak secara tiba-tiba. Berkenaan
dengan hal tersebut di atas maka perlu dibentuk saluran alternatif
sehingga rasa dan sikap pertentangan dapat dikemukakan dengan tidak
merusak solidaritas.
5. Teori Pertukaran Sosial George C. Homans dan Teori Pertukaran Perilaku Peter M. Blau
Pendekatan Perilaku
Semula
George C. Homans tidak menaruh perhatian masalah pertukaran sosial
dalam mengadakan pendekatan terhadap masyarakat karena pada awalnya ia
mengarahkan perhatian pada pendekatan fungsionalisme struktural.
Pendekatan fungsionalisme struktural ternyata mempunyai arti yang sangat
penting karena mampu memberi masukan terhadap teori sosiologi, terutama
dalam hubungannya dengan struktur, proses dan fungsi kelompok
sebagaimana tercantum dalam bukunya yang berjudul The Human Group.
Menurut pendapatnya analisis fungsionalisme struktural mempunyai manfaat
untuk menemukan dan memberikan uraian, akan tetapi pendekatan tersebut
tidak mampu menjelaskan. Selanjutnya, berhubung pendekatan
fungsionalisme struktural itu tidak dapat menjelaskan berbagai macam hal
maka menurut pendapatnya dianggap sebagai suatu kegagalan.
Berhubung
pendekatan fungsionalisme struktural dianggap gagal dalam memberikan
fenomena-fenomena baru yang muncul dalam interaksi sosial di masyarakat
maka ia berusaha menyempurnakannya dengan prinsip-prinsip pertukaran
sosial. Berkenaan dengan hal tersebut maka ia tinggalkan pendekatan
fungsionalisme struktural dan selanjutnya menyatakan tentang pentingnya
pendekatan psikologi dalam menjelaskan gejala-gejala sosial. Menurut
pendapatnya dengan psikologi dapat dijelaskan mengenai faktor yang
menghubungkan sebab dan akibat. Dalam hal yang menghubungkan antara
sebab dan akibat hanya dapat dijelaskan oleh proposisi psikologi melalui
pendekatan perilaku. Namun, pada mulanya ia juga menggunakan pendekatan
ilmu ekonomi karena diasumsikan bahwa orang yang berperilaku itu
memperoleh ganjaran dan menghindari hukuman. Akan tetapi, ia juga
berpendapat bahwa perilaku orang itu tidak semata-mata alasan ekonomi,
melainkan juga karena adanya rasa kepuasan, harga diri dan persahabatan.
Perlu
diketahui bahwa George C. Homans menyatakan bahwa psikologi perilaku
sebagaimana diajarkan oleh B.F. Skinner dapat menjelaskan pertukaran
sosial. Adapun proposisi yang mampu memberikan penjelasan pertukaran
sosial, yaitu (1) proposisi sukses, artinya semakin perilaku itu
memperoleh ganjaran, semakin orang melaksanakan perilaku tersebut; (2)
proposisi stimulus, artinya apabila stimulus menyebabkan adanya ganjaran
maka pada kesempatan yang lain orang akan melakukan tindakan apabila
ada stimulus yang serupa; (3) proposisi nilai, artinya semakin tinggi
nilai suatu tindakan maka semakin senang orang melaksanakan; (4)
proposisi deprivasi satiasi, artinya semakin orang memperoleh ganjaran
tertentu maka semakin berkurang nilai itu bagai orang yang bersangkutan;
(5) proposisi restu-agresi, artinya ganjaran yang tidak seperti yang
diharapkan maka akan menyebabkan marah dan kecewa serta dapat
menyebabkan perilaku yang agresif.
Pendekatan Pertukaran Perilaku
George
C. Homans dan Peter M. Blau adalah tokoh dari Teori Pertukaran sosial.
Namun, tidak seperti George C. Homans yang membatasi analisisnya pada
jenjang sosiologi mikro, Peter M. Blau berupaya menjembatani pada
jenjang sosiologi makro dan mikro dari jenjang analisis sosiologi. Perlu
diketahui bahwa baik C. Homans maupun Peter M. Blau menilai analisisnya
pada proses interaksi, namun Peter M. Blau melanjutkan analisisnya
dengan membahas struktur yang lebih besar. Dalam hal ini, Peter M. Blau
menunjukkan bahwa dalam proses pertukaran dasar menghadirkan fenomena
yang berupa struktur sosial yang lebih kompleks. Dalam teori pertukaran
sosial menekankan adanya suatu konsekuensi dalam pertukaran baik yang
berupa ganjaran materiil, misal yang berupa barang maupun spiritual yang
berupa pujian.
Selanjutnya
untuk terjadinya pertukaran sosial harus ada persyaratan yang harus
dipenuhi. Syarat itu adalah (1) suatu perilaku atau tindakan harus
berorientasi pada tujuan-tujuan yang hanya dapat tercapai lewat
interaksi dengan orang lain; (2) suatu perilaku atau tindakan harus
bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian tujuan-tujuan yang
dimaksud. Adapun tujuan yang dimaksud dapat berupa ganjaran atau
penghargaan intrinsik yakni berupa pujian, kasih sayang, kehormatan dan
lain-lainnya atau penghargaan ekstrinsik yaitu berupa benda-benda
tertentu, uang dan jasa.
Harapan-harapan
yang akan diperoleh dalam pertukaran sosial menurut Peter M. Blau,
yaitu (a) ganjaran atau penghargaan; (b) lahirnya diferensiasi
kekuasaan; (c) kekuasaan dalam kelompok; dan (d) keabsahan kekuasaan
dalam kelompok.
Untuk
jelasnya dapat dikemukakan bahwa interaksi sosial dapat digolongkan
dalam dua kategori, yaitu didasarkan pada ganjaran atau penghargaan yang
bersifat intrinsik dan ekstrinsik. Peter M. Blau berpendapat bahwa (1)
individu-individu dalam kelompok-kelompok yang sederhana (mikro) satu
sama lain dalam pertukaran sosial mempunyai keinginan untuk memperoleh
ganjaran ataupun penghargaan; dan (2) tidak semua transaksi sosial
bersifat simetris yang didasarkan pada pertukaran sosial yang seimbang.
Pertukaran
sosial yang tidak seimbang akan menyebabkan adanya perbedaan dan
diferensiasi kekuasaan karena dalam pertukaran tersebut ada pihak yang
merasa lebih berkuasa dan mempunyai kemampuan menekan dan di lain pihak
ada yang dikuasai serta merasa ditekan. Kekuasaan menurut Peter M. Blau
adalah kemampuan orang atau kelompok untuk memaksakan kehendaknya pada
pihak lain.
Adapun
strategi atau cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan kekuasaan
terhadap orang lain yaitu memberikan sebanyak mungkin kepada pihak lain
yang membutuhkan, sebagai suatu upaya menunjukkan statusnya yang lebih
tinggi dan berkuasa, agar mereka yang dikuasai merasa berutang budi dan
mempunyai ketergantungan.
Dalam
pertukaran sosial menunjukkan adanya gejala munculnya kekuasaan yang
terjadi pula dalam suatu kelompok. Dalam kelompok akan terjadi
persaingan antarindividu, dan tiap individu akan berusaha memperoleh
kesan lebih menarik jika dibanding dengan yang lain. Agar orang itu
terkesan lebih menarik dari orang lain syaratnya dapat menarik perhatian
orang lain. Dalam persaingan itu nantinya akan nampak adanya pihak atau
orang yang dapat menarik perhatian orang-orang yang dalam kelompok yang
bersangkutan. Kelebihan orang yang bersangkutan dapat menarik perhatian
orang lain kemungkinan karena kepandaiannya, kejujurannya, kesopanannya
ataupun kebijaksanaannya. Dari tiap-tiap kelompok akan ada yang
menonjol dan yang menonjol itu akhirnya akan muncul satu orang yang
paling menarik perhatian orang dalam kelompok-kelompok tersebut maka
muncullah kekuasaan, dalam arti ada pemimpin dan ada yang dipimpin.
Dalam hal ini, pemimpin (pemegang kekuasaan) akan memperoleh penghargaan
sebagai akibat tanggung jawab yang dapat dipenuhinya. Sementara orang
yang dipimpin akan mendapat penghargaan karena ketaatannya, baik karena
tugas yang diselesaikan maupun kesediaannya mematuhi peraturan-peraturan
yang ada.
Perintah
yang dipatuhi adalah perintah yang diberikan oleh pemimpin yang sah.
Agar perintah dipatuhi maka pemimpin (pemegang kekuasaan) harus
mempunyai wewenang. Wewenang yang dimiliki oleh pemegang kekuasaan
digunakan untuk merekrut anggota dalam kelompok.
6. Interaksionisme Simbolik William James dan Charles Horton Cooley serta John Dewey
Interaksionisme Simbolik menurut William James
Teori
interaksionisme yang dikemukakan oleh William James dilandasi oleh
aliran Pragmatisme. Ia berpendapat bahwa yang benar adalah apa yang
membuktikan dirinya sebagai benar dengan akibatnya yang bermanfaat
secara praktis. Adapun mengenai pandangan William James dapat dirangkum
dalam suatu uraian sebagai, berikut.
- Manusia dapat memperoleh sendiri sebagian apa yang diperlukan oleh pengalaman kita yang sesuai dengan yang dikehendaki karena sebagai bagian dari dunia adalah hasil dari perbuatan manusia itu sendiri.
- Agama merupakan suatu kepercayaan yang mampu memberikan kepuasan rohani, rasa aman, damai, dan rasa kasih sayang terhadap sesama.
- Kebenaran gagasan-gagasan dan ucapan-ucapan tidaklah berada dalam kesesuaian antara gagasan-gagasan dan fakta-fakta yang dapat ditemukan secara objektif melainkan dalam kegunaan yang dimiliki gagasan-gagasan tersebut bagi tindakan;
- Manusia mempunyai naluri-naluri meskipun naluri tersebut peranannya kurang penting. Adapun yang dianggap penting adalah kebiasaan-kebiasaan yang dikembangkan dalam interaksi dengan lingkungannya.
- Dalam interaksi, manusia mengembangkan suatu "diri", dan tidak hanya terdapat satu diri saja melainkan lebih dan satu diri, yang dibedakan menjadi diri materiil dan diri sosial yang diberikan oleh individu-individu dan kelompok-kelompok yang terus berinteraksi dengan seseorang.
Perlu
diketahui bahwa William James terkenal karena meneruskan dan
mengembangkan konsep dan (self). Selain itu, ia juga berpendapat, bahwa
perasaan seseorang mengenai dirinya sendiri seseorang muncul dari
interaksinya dengan orang lain.
Interaksionisme menurut Charles Horton Cooley
Menurut
Charles Horton Cooley hidup ini tidak ada perbedaan secara biologis
antara manusia satu dengan yang lain. Individu dengan masyarakat
terjalin suatu hubungan yang organis sehingga antara individu dan
masyarakat tidak dapat dipisahkan, dan antara individu dan masyarakat
ada saling ketergantungan secara organis.
Konsep
diri menurut Charles Horton Cooley disebut looking glass self karena
dalam setiap interaksi sosial, seseorang yang terlibat merupakan
cerminan dan yang disatukan dalam identitas orang itu sendiri.
Analisisnya mengenai pertumbuhan sosial individu, ia mengembangkan "diri
sosial" menurut William James. Dalam looking glass self ada tiga unsur
yang dapat dibedakan, yaitu (1) bayangan mengenai orang-orang lain
melihat kita; (2) bayangan mengenai pendapat yang dipunyai orang tentang
kita, dan (3) rasa diri yang dapat berarti positif atau negatif.
Tingkah
laku orang seolah-olah merupakan cermin bagi imajinasi pribadi tertentu
yang mempunyai tiga elemen, yaitu (1) imajinasi tentang bagaimana
seseorang tampil; (2) imajinasi tentang bagaimana orang lain menilai
terhadap penampilan itu; dan (3) reaksi-reaksi emosional terhadap
penilaian orang lain.
Menurut
Charles Horton Cooley konsep diri dibentuk oleh apa yang dinamakan
kelompok primer. Dalam kelompok ini terdapat hubungan yang bersifat muka
berhadapan dengan muka atau "wawanmuka" dan di sinilah terbentuknya
watak manusia. Hubungan antara anggota sangat erat. Dalam anggota saling
membaur sehingga tujuan yang akan dicapai akan ada kesamaan.
Faktor-faktor
yang menyebabkan adanya hubungan yang mesra, yaitu (1) adanya rasa
solidaritas yang tinggi di antara para anggatanya dan mereka merasa
membutuhkan kepentingan yang sama; dan (2) ada perasaan senasib dan
sepenanggungan karena merasa mempunyai latar belakang sejarah yang sama.
Syarat
yang harus dimiliki kelompok primer, yaitu (1) para anggota kelompok
secara baik berdekatan antara yang satu dengan yang lainnya; (2) jumlah
anggota sedikit dan (3) hubungan antara anggota kelompok bersifat
langsung.
Menurut
Samuel Stouffen fungsi kelompok primer, yaitu membantu individu dalam
perkembangan dan pendewasaannya mempunyai sifat; (1) memberi bantuan
motivasi dan landasan kuat kepada anggota; (2) kelompok mempunyai nilai
praktikal untuk individu; dan (3) loyalitas dapat menyebabkan adanya
hubungan erat dan bantuan dalam ikatan kelompok. Sementara keuntungan
bagi kelompok primer, yaitu (1) menunjang sifat-sifat baik manusia dan
menghindari sifat-sifat lemahnya, dan memberikan kekuatan batin serta
dorongan kepada individu; (2) mempertebal ketergantungan individu dari
kelompoknya; (3) menyerap individu dan kepribadiannya dalam kehidupan
yang bersifat kolektif; dan (4) memperlihatkan reaksi yang didasarkan
pada perasaan. Adapun jasa yang pokok dari kelompok primer, yaitu (1)
memenuhi kepentingan naluriah manusia; (2) memberi rasa aman kepadanya
dan (3) memberi perlindungan dan memungkinkan pembentukan kepribadian
individu.
Interaksionisme Simbolik menurut John Dewey
John
Dewey adalah seorang pragmatisme ia menyebut sistem pemikirannya dengan
istilah instrumentalisme, yaitu suatu upaya untuk menyusun suatu teori
yang logis dan tepat dari konsep-konsep, pertimbangan-pertimbangan,
pengumpulan-pengumpulan dalam bentuk-nya yang bermacam-macam. Menurut
John Dewey pemikiran manusia bertolak dari pengalaman-pengalaman, dan
penyelidikan adalah transformasi yang terawasi atau terpimpin dari suatu
keadaan yang tidak pasti menjadi keadaan yang pasti, sedang makna yang
terkandung dalam pikiran manusia itu senantiasa berada dalam interaksi
yang bersifat dialektik, baik dengan pengalaman maupun dengan tindakan
manusia.
Instrumentalisme
menekankan pada kemajuan, pandangan ke depan dan usaha-usaha manusia,
serta menekankan pada hasil-hasil atau akibat-akibat, dalam hal ini
akibat tersebut sesuatu yang memuaskan. Adapun yang disebut memuaskan
adalah:
- sesuatu itu benar apabila memuaskan keinginan dan tujuan manusia,
- sesuatu itu dianggap benar apabila dapat dibuat eksperimen dan dapat dibuktikan kebenarannya, serta
- sesuatu itu benar apabila membantu perjuangan makhluk untuk mempertahankan kebenarannya.
Pandangan
John Dewey menyatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang berarti
semua tindakannya diberi cap masyarakatnya. Sumbangan John Dewey
terletak pada pandangannya bahwa pikiran (mind) seseorang berkembang
dalam rangka untuk menyesuaikan dan dengan lingkungan. Pandangannya
mengenai pendidikan ia menganggap ilmu mendidik tidak dapat dipisahkan
dengan filsafat. Menurutnya filsafat adalah teori umum dari pendidikan.
Maksud dan tujuan sekolah untuk mem-bangkitkan sikap hidup demokratis
dan mengembangkannya.
Dalam
filsafat pendidikan dikenal aliran progresivisme. Aliran ini menentang
sistem pendidikan yang otoriter dan absolut. Adapun ciri-ciri sistem
pendidikan Progresivisme, yaitu:
- pendidikan harus bersifat aktif dan dikaitkan dengan minat serta kepentingan anak;
- anak didik harus diberi latihan-latihan untuk memecahkan persoalan-persoalan;
- pendidikan adalah pembudayaan hidup itu sendiri dan bukan mempersiapkan untuk dapat hidup. Peranan guru dalam pendidikan adalah membimbing dan memberi nasihat kepada anak didik dalam memecahkan persoalan,
- sekolah merupakan tempat untuk melatih kerja sama dengan orang lain;
- pendidikan harus bersifat demokratis.
Pendapatnya
mengenai pengetahuan dinyatakan bahwa fakta, dan arti dari sesuatu
dapat dianggap baik atau tidak baik dengan mencari sampai seberapa jauh
watak operasionalnya. Pendapatnya mengenai nilai berkembang secara
kontinu karena adanya saling pengaruh-mempengaruhi antara pengalaman
baru di antara individu-individu dengan nilai-nilai yang telah tersimpan
dalam kebudayaan.
7. Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Teori Interaksionisme Simbolik George Herbert Mead
Pemikiran-pernikiran
Geroge Herbert Mead mula-mula dipengaruhi oleh teori evolusi Darwin
yang menyatakan bahwa organisme terus-menerus terlibat dalam usaha
menyesuaikan diri dengan lingkungannya. George Herbert Mead berpendapat
bahwa manusia merupakan makhluk yang paling rasional dan memiliki
kesadaran akan dirinya. Di samping itu, George Herbert Mead juga
menerima pandangan Darwin yang menyatakan bahwa dorongan biologis
memberikan motivasi bagi perilaku atau tindakan manusia, dan
dorongan-dorongan tersebut mempunyai sifat sosial. Di samping itu,
George Herbert Mead juga sependapat dengan Darwin yang menyatakan bahwa
komunikasi adalah merupakan ekspresi dari perasaan George Herbert Mead
juga dipengaruhi oleh idealisme Hegel dan John Dewey. Gerakan adalah
suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang dalam hubungannya dengan
pihak lain. Sehubungan dengan ini, George Herbert Mead berpendapat bahwa
manusia mempunyai kemampuan untuk menanggapi diri sendiri secara sadar,
dan kemampuan tersebut memerlukan daya pikir tertentu, khususnya daya
pikir reflektif. Namun, ada kalanya terjadi tindakan manusia dalam
interaksi sosial munculnya reaksi secara spontan dan seolah-olah tidak
melalui pemikiran dan hal ini biasa terjadi pada binatang.
Bahasa
atau komunikasi melalui simbol-simbol adalah merupakan isyarat yang
mempunyai arti khusus yang muncul terhadap individu lain yang memiliki
ide yang sama dengan isyarat-isyarat dan simbol-simbol akan terjadi
pemikiran (mind). Manusia mampu membayangkan dirinya secara sadar
tindakannya dari kacamata orang lain; hal ini menyebabkan manusia dapat
membentuk perilakunya secara sengaja dengan maksud menghadirkan respon
tertentu dari pihak lain.
Tertib
masyarakat didasarkan pada komunikasi dan ini terjadi dengan
menggunakan simbol-simbol. Proses komunikasi itu mempunyai implikasi
pada suatu proses pengambilan peran (role taking). Komunikasi dengan
dirinya sendiri merupakan suatu bentuk pemikiran (mind), yang pada
hakikatnya merupakan kemampuan khas manusia.
Konsep
diri menurut George Herbert Mead, pada dasarnya terdiri dari jawaban
individu atas pertanyaan "Siapa Aku". Konsep diri terdiri dari kesadaran
individu mengenai keterlibatannya yang khusus dalam seperangkat
hubungan sosial yang sedang berlangsung. Kesadaran diri merupakan hasil
dari suatu proses reflektif yang tidak kelihatan, dan individu itu
melihat tindakan-tindakan pribadi atau yang bersifat potensial dari
titik pandang orang lain dengan siapa individu ini berhubungan. Pendapat
Goerge Herbert Mead tentang pikiran, menyatakan bahwa pikiran mempunyai
corak sosial, percakapan dalam batin adalah percakapan antara "aku"
dengan "yang lain" di dalam aku. Untuk itu, dalam pikiran saya memberi
tanggapan kepada diri saya atas cara mereka akan memberi tanggapan
kepada saya.
"Kedirian"
(diri) diartikan sebagai suatu konsepsi individu terhadap dirinya
sendiri dan konsepsi orang lain terhadap dirinya Konsep tentang "diri"
dinyatakan bahwa individu adalah subjek yang berperilaku dengan demikian
maka dalam "diri" itu tidaklah semata-mata pada anggapan orang secara
pasif mengenai reaksi-reaksi dan definisi-definisi orang lain saja.
Menurut pendapatnya diri sebagai subjek yang bertindak ditunjukkan
dengan konsep "I" dan diri sebagai objek ditunjuk dengan konsep "me" dan
Mead telah menyadari determinisme soal ini. Ia bermaksud menetralisasi
suatu keberatsebelahan dengan membedakan di dalam "diri" antara dua
unsur konstitutifis yang satu disebut "me" atau "daku" yang lain "I"
atau "aku". Me adalah unsur sosial yang mencakup generalized other.
Teori George Herbert Mead tentang konsep diri yang terbentuk dari dua
unsur, yaitu "I" (aku) dan "me" (daku) itu sangat rumit dan sulit untuk
di pahami.
Perkembangan Konsep Diri dan Pengambilan Peran serta Organisasi Sosial
Konsep
diri George Herbert Mead menekankan bahwa tahap-tahap yang dilalui
anak-anak itu secara bertahap mereka memperoleh konsep diri yang
menghubungkan anak-anak dengan kehidupan sosial yang sedang berlangsung
dalam keluarga dan kelompok- kelompok yang lain. Identitas anak akan
selalu bertambah apabila anak sudah mulai bermain dengan rekan-rekannya.
Pengembangan identitas sosial harus dicapai lewat proses belajar
bermasyarakat dan proses ini disebut sosialisasi.
Menurut
Soejono Dirdjosisworo sosialisasi mengandung tiga pengertian dan
menurut Kamanto Sunarto dinyatakan bahwa salah satu teori peranan yang
dikaitkan dengan sosialisasi, yaitu teori yang dikemukakan oleh George
Herbert Mead. George Herbert Mead menguraikan mengenai tahap-tahap
pengembangan diri (self) manusia, yaitu (1) tahap play-stage (tahap
bermain), (2) tahap game-stage (tahap permainan), dan (3) generalized
other (orang lain yang digeneralisasikan). Pada tahap ini seseorang
dianggap telah mampu mengambil peranan-peranan yang dijalankan orang
lain dalam masyarakat. Apabila seseorang anak berhasil mengambil peranan
orang lain yang digeneralisasikan itu maka "diri"nya akan dapat
mencapai perkembangan penuh, dan kelakuan individu dikendalikan orang
lain yang digeneralisasikan tersebut. Menurut George Herbert Mead sikap
generalized other adalah sikap masyarakat. Proses sosial mempengaruhi
perilaku individu yang terlibat di dalamnya dan menjalankan proses itu
yaitu masyarakat mengontrol tingkah laku anggotanya.
Teori
Interaksionisme simbolik beranggapan bahwa kehidupan bermasyarakat
terbentuk lewat proses interaksi dan komunikasi antarindividual dan
antarkelompok dengan menggunakan simbol-simbol yang dipahami maknanya
melalui proses belajar. Konsep George Herbert Mead tentang masyarakat
menekankan pada kekhususan model praxis manusia di mana dengan
menjembatani interaksi manusia dengan alam dan interaksi manusia dengan
manusia lain.
Menurut
George Herbert Mead sesungguhnya beberapa jenis aktivitas kerja sama
telah menyebabkan adanya kedirian. Di sana terdapat penghilangan
keorganisasian di mana organisasi itu bekerja sama, dan dengan jenis
kerja sama ini maka isyarat individual akan menjadi stimulasi bagi
dirinya sendiri dengan bentuk yang sama sebagaimana bentuk stimulus yang
lain sehingga dengan demikian perbincangan isyarat dapat menghilangkan
karakter individual, dan kondisi semacam itu diduga dalam pengembangan
kedirian (self).
Manusia
secara aktif menentukan lingkungannya, dan sementara dalam waktu yang
bersamaan lingkungannya juga menentukan manusia. Menurut George Herbert
Mead yang lebih penting yaitu tidak ada bentuk organisasi sosial yang
perlu dianggap sebagai sesuatu yang final.
8. William Issac Thomas dan Herbert Blumer
William Issac Thomas
William
Issac Thomas adalah tokoh Sosiologi Amerika yang terkenal sangat
kontroversial, tetapi juga dianggap sebagai orang yang mempunyai
pemikiran cemerlang pada masanya. Teoremanya yang sangat terkenal yang
berbunyi 'if men define situations as real, they are real in their
consequences', dianggap menawarkan pendekatan baru dalam memahami
perilaku manusia dalam berinteraksi. Pendekatan yang ditawarkan adalah
dalam rangka keluar dari pendekatan positivistik dan juga pendekatan
yang sifatnya individualis dan subjektif ke dalam data-data yang
sifatnya sosiologis di mana interpretasinya bersifat objektif.
Karya
Thomas sangat banyak, tetapi yang dianggap monumental adalah The Polish
Peasant in Europe and America yang berisi penjelasan tentang masalah
identitas etnik sehubungan dengan masalah perubahan sosial. Karya ini
juga dianggap sebagai perbaikan atas karya pertamanya yang berjudul Sex
and Society: Studies in the Social Psychology of Sex yang dianggap
banyak mengandung bias biologi maupun bias psikologi. Selanjutnya,
tulisannya yang berjudul The Unadjusted Girl yang membahas tentang
'definisi situasi' dianggap memberi sumbangan yang sangat penting dalam
bidang teori terhadap perkembangan pendekatan interaksionisme simbolik.
Berdasarkan
teori 'definisi situasi', perilaku bukan hanya merupakan respon
refleksif terhadap stimulus yang datang dari lingkungan. Perilaku
merupakan buah dari proses definisi subjektif aktor terhadap stimulus
tersebut. Di dalam proses definisi subjektif ini terkandung tahap
pengujian dan pertimbangan atas stimulis yang datang dan respons yang
akan dimunculkan.
Herbert Blumer
Herbert
Blumer merupakan salah seorang tokoh teori interaksionisme simbolik
yang mewakili aliran pragmatis. Pemikirannya banyak dipengaruhi oleh
gurunya George Herbert Mead, tetapi pada akhirnya dia tetap mampu
membangun teorinya sendiri. Dia termasuk orang yang sangat aktif, tidak
saja hanya dalam kegiatan-kegiatan akademik melainkan juga dalam
urusan-urusan administrasi di universitas tempatnya mengajar. Herbert
Blumer termasuk sangat produktif, terbukti dengan banyak hasil karyanya
baik yang berupa buku maupun artikel. Simbolic Interactionism:
Perspective and Method yang ditulisnya tahun 1969 sampai saat ini tetap
menjadi acuan bagi kajian-kajian interaksionisme simbolik. Dalam bukunya
ini, Blumer menekankan tentang pentingnya kesadaran aktor dan bagaimana
aktor tersebut mendefinisikan situasinya dan bertindak berdasarkan rasa
kepemilikan terhadap dirinya sendiri.
Interaksionisme simbolik itu sendiri menurut Blumer bertumpu pada tiga premis, yaitu sebagai berikut.
- Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang ada pada sesuatu itu bagi mereka;
- Makna itu diperoleh dari hasil interaksi sosial yang dilakukan dengan orang lain;
- Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial sedang berlangsung.
Dalam
bentuk ketiga premis tersebut sebenarnya terletak bangunan dari ide
dasar pemikiran Blumer, yaitu apa yang disebutnya 'root images'. Images
ini merupakan dasar dari cara pandang interaksionisme simbolik tentang
tingkah laku manusia dan masyarakat manusia, serta kerangka dari
pembentukan teori interaksionisme dan interpretasi.
9. Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman dan Peter L. Berger
Teori Interaksionisme Simbolik Erving Goffman
Interaksionisme
simbolik pada hakikatnya (lebih) merupakan bagian dari psikologi sosial
yang menyoroti interaksi antar-individu dengan menggunakan
simbol-simbol. Konsep interaksionisme simbolik Erving Goffman juga
menyoroti masalah-masalah yang berhubungan dengan interaksi antara
orang-orang yang juga melibatkan simbol-simbol dan penafsiran-penafsiran
di mana peranan antara the self dan the other mendapat porsi perhatian
yang sama dalam koteks interaksi dimaksud. Interaksionisme simbolik
Erving Goffman memang selalu mengacu kepada konsep-konsep 'impression
management', role distance, dan secondary adjustment di mana ketiganya
bertumpu pada konsep dan peranan the self dan the other tadi. Selain
itu, Goffman juga menyoroti masalah face-to-face interaction, yaitu
interaksi atau hubungan tatap muka yang menjadi dasar pendekatan
mikrososiologi dalam analisis sosiologisnya.
Inti
dari ajaran Goffman adalah apa yang disebut dengan dramaturgy.
Dramaturgy yang dimaksud Goffman adalah situasi dramatik yang
seolah-olah terjadi di atas panggung sebagai ilustrasi yang diberikan
Goffman untuk menggambarkan orang-orang dan interaksi yang dilakukan
mereka dalam kehidupan sehari-hari. Dengan kata lain, Goffman
menggambarkan peranan orang-orang yang berinteraksi dan hubungannya
dengan realitas sosial yang dihadapinya melalui panggung sandiwara
dengan menggunakan skrip (jalan cerita) yang telah ditentukan. Seperti
layaknya sebuah panggung maka ada bagian yang disebut frontstage
(panggung bagian depan) dan backstage (panggung bagian belakang) di mana
keduanya memiliki fungsi yang berbeda. Betapa penting peranan dan
fungsi backstage terhadap keberhasilan penampilan di frontstage,
kajian-kajian terhadap hal-hal yang berada di luar perhitungan
benar-benar bertumpu pada sumber daya-sumber daya yang ada pada kedua
bagian tersebut. Di samping itu, konsep dramaturgy Goffman juga dipakai
oleh beberapa ahli sosiologi seperti Kennen dan Collins dalam melakukan
studi yang menyangkut interaksi antara orang-orang yang menjadi kajian
mereka.
Interaction
Order adalah artikel 'penutup' dari seluruh karya-karya Goffman sebelum
ia wafat tahun 1982. Dalam tulisannya ini, Goffman secara konsisten
tetap menyoroti masalah interaksi tatap muka yang ordonya dimulai dari
skala yang terkecil atau terendah menuju skala terbesar atau tertinggi,
yaitu yang terdiri dari persons, contact, encounters, platform
performances, dan celebrations. Meskipun hampir sebagian besar analisis
Goffman tidak menyertakan konsep penting interaksionisme simbolik, yaitu
self interaction, namun bagi Goffman, seorang aktor yang berada 'di
atas panggung' itu harus mampu menafsirkan, memetakan, mengevaluasi, dan
mengambil tindakan sehingga atas dasar kemampuannya itu manusia
dikategorikan sebagai makhluk yang aktif. Bagi Goffman, sebagai makhluk
yang aktif, manusia itu justru harus mampu untuk memanipulasi situasi
yang dihadapinya. Hal inilah yang mendasari pandang Goffman bahwa
seorang sosiolog harus mampu melakukan analisis secara mandiri atas
kondisi-kondisi sosial yang dihadapinya.
Teori Interaksionisme Peter L. Berger
Peter
L. Berger sebenarnya bukanlah tokoh interaksionisme simbolik murni.
Ajarannya memang lebih condong ke arah fenomenologi meskipun di
dalamnya, konsep-konsep dramaturgi, realitas sosial, dan hubungan tatap
muka (face-to-face interaction) masih menjadi sorotannya di mana hal ini
konsisten dengan konsep-konsep yang menjadi dasar acuan di dalam
interaksionisme simbolik.
Dramaturgi
Berger memang 'agak sedikit' berbeda dengan miliknya Goffman. Para
pelaku atau aktor di dalam dramaturgi Berger 'menciptakan' dan
'mengembangkan' sendiri skrip atau jalan cerita yang akan
'dimainkannya', sedangkan pada dramaturginya Goffman para pelaku atau
aktor itu 'hanya' tinggal menjalankan atau memainkan skrip (jalan
cerita), di mana skrip itu 'ditulis' dan 'dikembangkan' oleh orang lain.
Realitas sosial bagi Berger haruslah terdiri dari unsur-unsur subjektif
dan objektif di mana keseimbangan kedua unsur itu harus tercipta demi
keseimbangan realitas sosial itu sendiri. Seperti halnya Goffman, Berger
juga menerapkan konsep hubungan antarmanusia yang disebutnya sebagai
hubungan inter subjektif. Bagi Berger, face-to-face interaction atau
hubungan tatap muka merupakan hubungan manusia yang sesungguhnya.
Pemikiran Berger (juga Luckman) mengacu kepada realitas subjektif dan
objektif yang keduanya itu dijadikan kerangka pemikiran untuk melakukan
pendekatan secara mikrososiologis.
Proses
dialektik, bagi Berger dan Luckman, adalah moments yang diawali dengan
externalization atau eksternalisasi, kemudian proses itu menjadi
objektivation atau objektivasi, dan diakhiri dengan internalization atau
internalisasi. Ada dua hal penting dalam proses eksternalisasi, yaitu
penciptaan suatu realitas yang baru serta pemeliharaan atau pembaharuan
kembali realitas yang sudah ada, sedangkan objektivasi maksudnya adalah
suatu proses di mana orang-orang itu dapat menangkap dan memahami
realitas. Di sini peranan bahasa sangat penting karena bahasa merupakan
alat untuk memahami realitas sosial. Sedangkan internalisasi artinya
(proses) melihat setiap orang sebagaimana adanya, sebagai orang itu
sendiri. Di dalam internalisasi ini sesungguhnya terdapat proses
reifikasi yang secara konseptual memiliki makna a dehumanized world
artinya dunia yang (sudah) dimanusiawikan.
10. Postmodernisme
Dari Modernisme ke Postmodernisme
Postmodernisme
lahir sebagai gugatan atau penolakan terhadap modernisme.
Postmodernisme menganggap modernisme gagal mewujudkan pencerahan umat
manusia. Rasio yang didewakan oleh kalangan modernisme sebagai subjek
yang menentukan dalam upaya menyejahterakan umat manusia ternyata tidak
menghasilkan seperti yang diharapkan. Modernisme telah melahirkan
ketimpangan dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan teori-teori
besarnya, modernisme memang telah mampu menciptakan kesejahteraan
sebagian umat manusia, tetapi modernisme ternyata juga memiskinkan
sebagian besar umat manusia yang lain. Modernisme telah menyebabkan
manusia kehilangan harkat kemanusiaannya secara utuh. Semua itu menjadi
sumber gugatan postmodernisme terhadap modernisme. Karena penggugatan
tersebut maka ada pula yang menyebut post- modernisme dengan
dekonstruksi, yang sebenarnya merupakan sifat dari postmodernisme.
Paling
tidak ada lima alasan penggugatan postmodernisme terhadap modernisme.
Pertama, modernisme gagal mewujudkan perbaikan-perbaikan ke arah masa
depan kehidupan yang lebih baik sebagaimana dicita-citakan para
pendukungnya. Kedua, ilmu pengetahuan modern tidak mampu melepaskan diri
dari kesewenang-wenangan dan penyalahgunaan otoritas keilmuan demi
kepentingan kekuasaan. Ketiga, terdapat banyak kontradiksi antara teori
dan fakta dalam perkembangan ilmu-ilmu modern. Keempat, Keyakinan bahwa
ilmu pengetahuan modern mampu mengatasi segala persoalan yang dihadapi
manusia ternyata keliru dengan munculnya berbagai patologi sosial.
Kelima, ilmu pengetahuan modern kurang memperhatikan dimensi mistik dan
metafisik manusia karena terlalu memperhatikan atribut fisik individu.
Sifat
lain postmodernisme selain penggugatan adalah bersifat bebas, lokal,
penolakan terhadap universalisme, dan penolakan terhadap kontinuitas.
Wacana pemikiran postmodernisme kini telah merambah ke berbagai disiplin
ilmu.
Postmodernisme dalam Sosiologi
Perkembangan
pemikiran postmodernisme banyak mempengaruhi perkembangan ilmu
sosiologi sebagai ilmu sosial yang banyak menghasilkan teori-teori
sosial besar Untuk menghadapi masalah itu, ada yang berpendapat
sebaiknya sosiolog melepaskan daya tarik sosiologi postmodern dan
bekerja keras lewat perbincangan sosiologis tentang postmodernisme. Hal
itu perlu dilakukan mengingat sosiologi postmodern mengandung risiko
adanya kontradiksi dalam istilah-istilahnya, terutama jika kita memahami
sosiologi sebagai ilmu sosial yang sistematis dan menghasilkan
dalil-dalil umum. Akar pemikiran mengenai postmodernisme bersumber mulai
dari pemikiran modernisme Weber, teori kelas Marxis yang disebut dengan
strukturalis, dilanjutkan oleh Teori Kritis mazhab Frankfurt yang juga
dikenal dengan Teori Kritik Ideologi, kemudian terakhir pemikiran
Foucault yang lebih dikenal sebagai poststrukturalis.
Dalam
masyarakat postmodern dapat dilihat dari perubahan perilaku ekonomi
dari masyarakat yang mengutamakan asas manfaat menjadi masyarakat yang
lebih mengutamakan simbol atau tanda. Suatu benda dimiliki bukan karena
benda itu bermanfaat dalam kehidupan sehari-hari, tetapi lebih karena
benda tersebut melambangkan simbol, tanda, dan status tertentu. Karena
lebih mengutamakan simbol maka masyarakat postmodern lebih mengagungkan
citra. Citra yang sebenarnya merupakan realitas semu dianggap
seolah-olah realitas yang sebenarnya yang ditampilkan melalui iklan dan
tontonan. Karena itu, masyarakat postmodernisme juga disebut masyarakat
hiperrealis dan masyarakat konsumer.
Tokoh-tokoh Postmodernisme
Postmodernisme
lahir dari pergolakan pemikiran para ahli dengan latar belakang berbeda
sehingga menghasilkan berbagai ragam pemikiran, dengan gaya dan bahasa
yang berbeda. Hal itu sesuai dengan prinsip dasar postmodernisme yang
menolak penyeragaman. Kita akan mengalami kesulitan untuk mencapai
kesimpulan tunggal tentang postmodernisme dan tatanan masyarakat yang
digambarkannya. Derrida menekankan penolakan terhadap kebenaran tunggal;
dan dalil-dalil umum ilmu pengetahuan dengan cara mendekonstruksi
bangunan pemikiran modernisme. Foucault menyoroti banyak aspek tentang
masyarakat postmodern. Ia menolak pandangan tentang kekuasaan yang
sentralistik. Ia berpendapat kekuasaan tidak berada di tangan orang yang
berkuasa, tetapi menyebar dan ada di mana-mana. Kekuasaan melekat dalam
ilmu pengetahuan. Sementara itu Baudrillard menyoroti perkembangan
budaya dan perilaku ekonomi dari masyarakat modern kapitalis yang lebih
mengutamakan nilai produksi dan nilai guna ke masyarakat postmodernisme
yang lebih menekankan nilai simbol. Seperti halnya Derrida, Lyotard
menolak kebenaran tunggal ilmu pengetahuan. Ia berpendapat bahwa
sekarang ini, tidak mungkin ada penjelasan tunggal atau ganda tentang
ilmu pengetahuan. Legitimasi kebenaran ilmu pengetahuan tidak dapat
bersandar pada satu narasi besar sehingga menurut Lyotard ilmu
pengetahuan saat sekarang ini lebih baik dipahami dalam pengertian teori
permainan bahasa.
Pemikiran postmodernisme akan terus bebas berkembang. Ia akan mengalir dalam diskusi yang tanpa henti.
11. Teori Feminisme Kontemporer
Teori Sosiologi Gender
Konsep
sex (jenis kelamin) dan gender masih sering dipahami secara rancu dalam
masyarakat. Konsep gender yang sebenarnya merupakan peran dan perilaku
laki-laki dan perempuan sesuai dengan pengharapan sosial, sering kali
dianggap sebagai ketentuan atau kodrat yang tak dapat diubah. Hal
tersebut menjadi masalah karena kekeliruan tersebut menimbulkan
ketidakadilan, terutama bagi perempuan.
Dalam
membahas gender, sosiologi melihat dari teori makro (fungsional
struktural, konflik, dan sistem dunia) dan mikro (interaksionisme
simbolik dan etnometodologi). Sesuai dengan prinsip konsensus dan
keharmonisan yang dianut, struktural fungsional menganggap pembagian
kerja antara suami dan istri dalam keluarga dianggap pengaturan yang
paling sesuai, agar dalam kehidupan berkeluarga laki-laki dan perempuan
dapat saling melengkapi. Sebaliknya, teori konflik menganggap bahwa
dalam kehidupan keluarga, istri atau perempuan dalam posisi yang
tertindas dalam kaitannya dengan fungsi ekonomi, seksual, dan pemilikan
properti. Janet Chafetz menganalisis bahwa perempuan menduduki posisi
yang rendah dalam masyarakat, yang ia sebut dalam stratifikasi jenis
kelamin. Sedangkan teori sistem dunia yang selama ini hanya
memperhitungkan kapitalisme dari pekerjaan ekonomi publik, dianggap
telah mengurangi kontribusi perempuan di bidang produksi ekonomi karena
mengabaikan pekerjaan perempuan dalam rumah tangga.
Dari
teori mikro sosial gender, interaksionisme simbolik mengidentifikasi
bahwa individu berusaha memelihara identitas gendernya di berbagai
situasi serta memahami bagaimana arti menjadi perempuan atau laki-laki.
Sementara itu, etnometodologi menganggap bahwa identitas gender individu
diperoleh melalui interaksi dalam berbagai situasi. Dengan demikian,
melalui budaya yang berbeda individu akan mengidentifikasi peran
gendernya secara berbeda sesuai dengan situasi sosial.
Teori Feminisme Kontemporer
Masalah
ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender dalam keluarga dan masyarakat
telah menimbulkan berbagai reaksi dari berbagai kalangan masyarakat.
Perbedaan sosial budaya yang melatarbelakangi ketidakadilan dan
ketidaksetaraan gender di berbagai tempat telah sejak lama diamati dan
dianalisis menjadi teori-teori feminisme yang beragam. Teori
ketidaksetaraan gender mencakup teori feminisme liberal dan feminisme
Marxist.
Feminisme
liberal memfokuskan perhatiannya pada ketidaksetaraan kedudukan antara
laki-laki dan perempuan. Diskriminasi gender berupa pemisahan domain
privat dan publik, pengutamaan laki-laki dibanding perempuan, menurut
feminis ini menyebabkan terbatasnya gerak perempuan sehingga peranan
perempuan menjadi mengecil, sedangkan feminisme Marxist menganggap bahwa
akar dari ketidaksetaraan perempuan adalah sistem kelas dalam
masyarakat kapitalis. Perempuan tidak hanya mengalami ketidakadilan di
antara kelas sosial, tetapi di dalam kelas sosialnya sendiri mereka
merupakan subordinasi dari laki-laki.
Termasuk
dalam teori penindasan gender adalah feminisme psikoanalis, feminisme
radikal, dan feminisme sosialis. Feminisme psikoanalitis berpandangan
bahwa ketidakadilan yang dialami oleh perempuan adalah akibat dari
sistem patriarki di mana maskulinitas dianggap lebih baik daripada
femininitas. Sementara itu, feminisme radikal berpendapat sistem
patriarki merupakan bentuk praktik kekerasan dan penindasan oleh
laki-laki dan organisasi yang dikuasai laki-laki terhadap perempuan.
Penindasan tersebut dalam bentuk kekerasan fisik dan non-fisik.
Penindasan menurut feminisme radikal adalah akibat dari perbedaan
biologis, dan basis dari subordinasi adalah institusi keluarga.
Penindasan tersebut membentuk hubungan dominasi laki-laki terhadap
perempuan.
Pembentukan
persaudaraan perempuan dan hubungan homoseksual adalah beberapa cara
yang disarankan oleh feminis radikal untuk menghapuskan penindasan
gender. Sedangkan feminisme sosialis menganggap bahwa penyebab
penindasan perempuan adalah ketergantungan ekonomi perempuan terhadap
laki-laki. Dalam keluarga, suami tidak hanya menjadi pemilik properti
keluarga, tetapi juga sebagai pemilik istri. Istri tidak lebih dari
properti. Kedudukan perempuan yang inferior terhadap kedudukan laki-laki
ini terkait dan menentukan kedudukan perempuan dalam sistem kelas
keluarga dan kapitalisme.
Teori
feminisme lain yang telah dikembangkan antara lain adalah feminisme
postmodern, feminisme multikultural/global, serta ekofeminisme.
Ekofeminisme memi-liki pandangan yang berbeda dengan aliran feminisme
lain, di mana teori ini justru mengajak manusia untuk mengembalikan dan
menambah kualitas feminin pada kegiatan manusia dalam pembangunan.
Tujuan ekofeminisme ini adalah menumbuhkan rasa cinta kelembutan,
keibuan, dan pengasuhan kepada dunia, yang dapat mengurangi kerusakan
lingkungan akibat kegiatan manusia yang terlalu maskulin.
perbedaan ilmu sosiologi klasik dengan ilmu sosiologi modern apa..
BalasHapus