Teori-Teori Dalam Kriminologi
Kriminologi
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama
kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli
antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos”
yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu
tentang kejahatan atau penjahat. (Toto Santoso, Achyani Zulfa, 2002: 9).
Kriminologi
lahir dan kemudian berkembang menduduki posisi yang penting sebagai
salah satu ilmu pengetahuan yang interdisiplin dan semakin menarik,
bergerak dalam dua “roda besar” yang terus berputar dalam perubahan
pola-pola kriminalitas sebagai fenomena sosial yang senantiasa
dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan teknologi. Roda-roda
yang bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan teori-teori
kriminologi.(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 107).
Ada beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1. Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland menghipotesakan
bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan
dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma
hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan
sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang
nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a. Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b. Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
c. Bagian
penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan
intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi
langsung di tengah pergaulan.
d. Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar.
e. Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
f. Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g. Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
h. Proses
mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal
dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap
proses belajar.
i. Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal tersebut
tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi,
oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari
kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
2. Teori Tegang (Strain Theory)
Teori
ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu
memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan
peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara
mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara
untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal.
Akibatnya, teori “tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya
optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena
kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan
akhirnya kejahatan.
3. Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)
Landasan
berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang
secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan
antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak
pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami
untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di
pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis
kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam
terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :
a. Kasih Sayang
Kasih
sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan
saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin
masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana
orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan
positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan
dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional
dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan
dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan,
yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi
dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada
keberhasilan yang dihargai masyarakat.
a. Kepercayaan
Akhirnya
kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial
serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang. Keempat unsur
ini sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan
lingkungan masyarakatnya.
4. Teori Label (Labeling Theory)
Landasan
berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma,
yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama
atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi
anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. (Gibbs dan Erickson, 1975;
Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat
banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama
dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian
label memberikan pengaruh melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang
negatif. Menurut teori label ini maka cap atau merek yang dilekatkan
oleh penguasa sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan
undang-undang sebenarnya berakibat panjang yaitu yang di cap tersebut
akan berperilaku seperti cap yang melekat itu. jadi sikap mencap orang
dengan predikat jahat adalah kriminogen.
5. Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory)
Menurut
Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang
orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada
neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam
struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit
seperti ini. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931),
kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi
pandangan psikoanalitik, perbedaan primer antara kriminal dan bukan
kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar mengontrol dan
menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.
1. Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation Seeking)
Menurut
Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan
pada observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang
perasaan gempar dan getaran hati atau sensasi. Kriminalitas merupakan
manifestasi “banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan atau
perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku”. Abnormalitas primer
oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang terletak dalam respon
psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal
merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu alternatif
perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah dihipotesakan
bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif
terhadap rangsangan.
Beberapa bahasan dari teori rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a. Kriminal
dilakukan dengan sistem urat syarat yang diporeaktif dan otak yang
kurang memberi respon, keadaan demkian tidak terjadi dalam vakum,
melainkan berinteraksi dengan tujuan tempat tinggal tertentu dimana
individu hidup dalam pergaulan.
b. Anak-anak
pradelinkuen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang
diterimanya dan rangsangan ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan
orang tua. Pola ini kemudian bergerak dalam lingkungan interaksi
negatif “orang tua dan anak” yang pada gilirannya membentuk remaja dan
orang dewasa yang bersifat bermusuhan, memendam rasa benci dan anti
sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan pathologis ini merupakan bagian
dari gambaran kriminal.
c. Interaksi orang-orang keadaan meliputi hipotesa :
1) Bahwa
respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku
mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis
dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya.
2) Bahwa abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi konsekuensi yang menyakitkan atas perbuatannya.
Kedua
faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi kepada siklus
yang merugikan dalam interkasi orang tua anak yang bersifat negatif yang
pada gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Christopher
Mehew dalam penelitiannya mengenai kriminal dan prikologis menemukan
adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan
sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emotional-immaturity) dan ternyata kondisi ini dipengaruhi oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie home dan broken home.
2. Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Landasan
berpikir teori ini menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang
diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum.
Pendukung semula teori pilihan rasional, Gary Becker (1968) menegaskan
bahwa akibat pidana merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta
keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana
bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti
pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan
perilaku yang kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran bahwa ada
ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya
diprotes dalam peradilan pidana. Apabila demikian seolah-olah semua
perilaku kriminal adalah keputusan rasional.
A. Teori-Teori Sebab Terjadinya Perilaku Jahat
Perilaku
jahat anak merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial
itu juga dapat dikelompokkan dlam satu kelas defektif secara sosial, dan
mempunyai sebab-musabab yang majemuk, jadi sifatnya multi-kausal.
Ada beberapa penggolongan teori mengenai sebab terjadinya perilaku jahat meliputi : (Kartini Kartono, 1985: 25-35).
1. Teori biologis
2. Teori psikogenesis (psikologis dan psikiatris)
3. Teori sosiogenesis
4. Teori subkultural
Ad.1.1. Teori Biologis
Tingkah
laku sosiopatik atau delikuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul
karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga
dapat oleh cacat jasmani yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini
berlangsung :
a. Melalui
gen atau plasma pembawa sifat dan keturunan, atau melalui kombinasi
gen, dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya
bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi
delikuen secara potensial.
b. Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku delikuen.
c. Melalui
pewarisan kelemahan konstitusi anal jasmaniah tertentu yang menimbulkan
tingkah laku delikuen atau sosiopatik. Misalnya cacat bawaan brachy-dactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
Ad.1.2. Teori Psikogenesis
Teori ini menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversal, kecenderungan psikopatologis, dll. Kurang lebih 90 % dari jumlah anak-anak berperilaku jahat berasal dari kalangan keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagian dan tidak beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku jahat. Ringkasnya, perilaku jahat anak-anak merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak-anak itu sendiri.
Ad.1.3. Teori Sosiogenesis
Landasan berpikir teori ini menyatakan bahwa penyebab tingkah laku jahat pada anak-anak adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Jadi sebab-sebab perilaku jahat itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali, disebabkan oleh konteks kulturalnya. Maka perilaku jahat anak-anak itu jelas di pupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak-anak bahkan adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-kunci untuk dapat memahami sebab-sebab terjadinya kejahatan anak itu ialah pergaulan dengan anak-anak muda lainnya yang sudah berperilaku jahat.
Ad.1.4. Teori Subkultural Delikuensi
Menurut
teori subkultural ini, perilaku jahat ialah sifat-sifat suatu struktur
sosial dengan pola budaya (subkultural) yang khas dari lingkungan
familial, tetangga dan masyarakat yang dialami oleh para anak yang
berperilaku jahat tersebut.
Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain ialah :
a. Punya populasi yang padat
b. Status sosial-ekonomis penghuninya rendah
c. Kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk
d. Banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi
Karena
itu sumber utama kemunculan perilaku jahat anak adalah
subkultural-subkultural perilaku jahat dalam konteks yang lebih luas
dari kehidupan masyarakat. Ringkasnya, ditengah masyarakat modern
sekarang, saat tidak semua kelompok sosial mendapatkan kesempatan yang
sama untuk menapak jalan masuk menuju kekuasaan-kekayaan dan berbagai previlage,
anak-anak dari kelas ekonomi terbelakang dan lemah mudah menyerap etik
yang kontradiktif dan kriminal, lalu menolak konvensi umum yang berlaku,
mereka menggunakan respon kriminal. Maka tingkah laku jahat anak-anak
itu merupakan reaksi terhadap kondisi sosial menambah pengetahuan, khususnya bagi pemakalah sendiri dan umumnya bagi teman-teman semua, untuk mengetahui teori-teori tentang kejahatan dan faktor-faktor penyebab kejahatan.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI TENTANG KEJAHATAN DAN PENYEBABNYA
Tujuan-tujuan pembentukan suatu teori kriminologi pada
pokoknya adalah:
v Memberikan suatu kerangka konseptual untuk membantu
pengamatan yang cermat serta deskripsimengenai kejahatandan reaksi sosialterhadap
kejahatan.
v Merumuskan suatu sistem sistem postulat-postulat dasar
yang dapat menjelaskan kejahatan serta reaksi sosial.
v Menegakkan suatu dasar pengetahuan dan metode agar
dalam kondisi-kondisi tertentu memungkinkan pengendalian atas kejahatan srta
reaksi sosial.
v Membentuk suatu konsepsi kerja peradiloan pidana.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang
dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural,
faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi
sosial.
Beberapa teori yang membahas peranan dari
faktor-faktor itu sebagai faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan
membentuk karir kriminal.
Didalam kriminilogi terdapat sejumlah teori yang dapat
dimasukkan kedalam kelompok teori yang menekankan peranan penting faktor-faktor
sosio-kultural dalam membahas kejahatan dan perilaku menyimpang, antara lain
teori kejahatan dan kondisi ekonomi, teori anomi, teori-teori sub kebudayaan, teori-teori
konflik dan sebagainya. Beberapa teori penting yakni :
a)
Teori
“differential opportunity structure”
Teori yang dikembangkan oleh Richard A. Cloward dan
Lloyd E. Ohlin ini mengetengahkan beberapa postulat yakni:
v Delikuensi
adalah suatu aktivitas dengan tujuan yang pasti: meraih kekayaan cara-cara yang
tidak sah.
v Sub kebudayaan
delikuensi terbentuk apabila terdapat kesenjangan antara tujuan-tujuan yang
dikehendaki secara kultural diantara kaum muda golongan (lapisan) bawah dengan kesempatan-kesempatan
yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini melalui cara-cara yang sah.
v Jenis-jenis
sub-kebudayaan delikuen berkembang dalam hubungannya dengan perbedaan cara-cara
yang tidak sah untuk mencapai tujuan. Jenis-jenis sub kebudayaan itu ialah:
Ø Sub kebudayaan konflik yang terdapat dalam lingkungan sosial
yang mengalami disorganisasi serta ketidakstabilan. Pada lingkungan ini juga
terdapat kesulitan-kesulitan dalam mencapai integrasi sosial, oleh karena
seringkali para warga masyarakat memecahkan masalah “frustasi status” melalui cara-cara
kekerasan.
Ø Sub kebudayaan kriminal yang terdapat dalam lingkungan
sosial dengan ciri sebagian besar warganya berpendapatan rendah dan angka laju
tinggi.
Ø Sub kebudayaan pengunduran diri
b)
Teori
mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Berbagai jenis situasi gangguan ekonomi dikaji dalam
bagian-bagian yang terpisah: krisis-krisis yang parah termasuk yang disebabkan bencana
alam, krisis gradual dan siklikal yang tercermindalam inflasi, resesi dan mis-employment,
kekurangan bahan dan tekanan-tekanan ekonomi yang kronis.
Istilah krisis yang dimaksudkan adalah suatu konsep
umum yang tidak hanya menyangkut disfungsi ekonomi dari suatu jenis resesi,
terlepas dari apakah ada atau tidak inflasi yang memperburuk keadaan tetapi
juga krisis-krisis tertentu dan krisis lokal yang mungkin terjadi akibat
bencana alam, krisis yang disebabkan oleh ketidakmampuan suatu masyarakat dalam
“take off” ke era industri dan krisis yang melekat pada salah urus dalam bidang
politik ekonomi.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari
diskusi-diskusi antara lain:
Pertama, pertumbuhan ekonomi berkorelasi secara
positif, berbeda-beda dengan angka laju yang tinggi dari sebagian besar kategori
kejahatan-kejahatan yang dilaporkan.
Kedua, melalui pengukuran indikator-indikator ekonomi pada
tingkat mikro yang tercermin dalam pengangguran, kelesuan bisnis serta
hilangnya daya beli dapat ditandai adanya peningkatan yang tajam dari sebagian
besar kategori kejahatan yang dilaporkan.
Ketiga, tenggang waktu antara fluktuasi ekonomi dan
peningkatan angka laju kejahatan berbeda-bedab sesuai dengan jenisnya,
masyarakat dan waktu.
Keempat, kejahatan-kejahatan” primer” yaitu kejahatan yang
secara langsung berhubungan dengan disfungsi ekonomi berkorelasi dengan
kecenderungan dan terutama dikondisikan oleh kebutuhan-kebutuhan konkrit serta
harapan-harapan yang mengalami frustasi. Diantara kejahatan atau perilaku
menyimpang lain yang meningkat adalah :
Ø Kejahatan-kejahatan ekonomi, yakni penadahan dan
penipuan konsumen.
Ø Pelanggaran norma non-kriminal.
Ø Pelanggaran-pelanggaran lain, seperti: alkoholisme.
Kelima, seringkali masalah yang paling serius dihadapi
adalah gejala kejahatan “sekunder” yang terjadi apabila kejahatan “primer” yang
berkaitan dengan krisis tidak terkendali atau diampuni (misalnya dalam hal
penyalahgunaan hukuman) atau ditindak dan dihukum dengan kekerasan yang
berlebihan. Dalam hal terakhir, karir penjahat individual lebih diperkuat dan
kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan krisis semakin memperoleh dorongan.
Secara teoritik M. Harvey Brenner mengidentifikasi beberapa
pandangan yang berbeda mengenai latar belakang kejahatan dalam hubungannya
dengan pengaruh langsung ekonomi terhadap kejehatan, yakni:
Ø Penurunan pendapatan nasional dan lapangan kerja akan
menimbulkan kegiatan-kegiatan industri ilegal.
Ø Terdapatnya bentuk-bentuk “innofasi” sebagai akibat
kesenjangan antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan sosial dengan sarana-sarana sosio-struktural
untuk mencapainya. Dalam masa kemunduran ekonomi, banyak warga masyarakat yang
kurang mempunyai kesempatan mencapai tujuan-tujuan sosial dan menjadi
“innovator” potensial yang cenderung mengambil bentuk pelanggaran hukum.
Ø Perkembangan karir kejahatan dapat terjadi sebagai akibat
tersumbatnya kesempatan dalam sektor-sektor ekonomi yang sah.
Ø Pada beberapa tipe kepribadian tertentu, krisis
ekonomi akan menimbulkan frustasi oleh karena adanya hambatan atau ancaman terhadap
pencapaian cita-cita dan harapan yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk-bentuk
perilaku agresif.
Ø Pada kelompok-kelompok tertentu yang mengalami tekanan
ekonomi terhadap kemungkinan besar bagi berkembangnya sub kebudayaan delinkuen.
Ø Sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran,
sejumlah warga masyarakat yang menganggur dan kehilangan penghasilannya
cenderung untuk menggabungkan diri dengan teman-teman yang menjadi pengangguran
pula dan dengan begitu lebih memungkinkan dirancang dan dilakukannya suatu
kejahatan.
c)
Teori-teori
“kriminologi baru” atau “kriminologi kritis”
William J. Chambliss secara khusus membahas tentang isi
dan bekerjanya hukum pidana, konsekuensi kejahatan bagi masyarakat dan sebab
musabab kejahatan.
Tentang latar belakang kejahataan, Chambliss
mengemukakan bahwa kejahatan berasal dari orang-orang yang bertindak secara rasional
sesuai dengan posisi klasnya. Kejahatan adalah suatu reaksi atas kondisi
kehidupan klas seseorang dan senantiasa berbeda-beda tergantung pada
struktur-struktur politik dan ekonomi masyarakat.
Masih dalam kerangka penjelasan bekerjanya faktor-faktor
sosio-kultural, Richard Quinney mengetengahkan teori tentang realitas sosial
kejahatan sebagai berikut:
Ø Kejahatan adalah suatu defenisi hukum yang diciptakan
oleh alat-alat klas dominan didalam masyarakat yang secara politis
terorganisasi.
Ø Definisi-defenisi kejahatan terdiri dari
perilaku-perilaku yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan klas
dominan.
Ø Defenisi-defenisi kejahatan diterapkan oleh klas yang
mempunyai kekuasaan untuk menegakkan dan melaksanakan hukum pidana.
Ø Pola-pola perilaku dibangun dalam hubungannya dengan
rumusan-rumusan kejahatan dan dalam konteks ini orang terlibat dalam tindakan-tindakan
yang relatif mempunyai kemungkinan untuk dirumuskan sebagai kejahatan.
Ø Idiologi tentang kejahatan dibentuk dan disebarluaskan
oleh klas dominan untuk memelihara hegemoninya.
Ø Realitas sosial kejahatan dibentuk oleh perumusan dan
penerapan defenisi-defenisi kejahatan, perkembangan pola-pola perilaku dalam
kaitannya dengan defenisi ini.
2.
Teori-Teori yang Membahas Faktor-Faktor Interaksi
a)
Teori
“Transmissi kebudayaan”
Pada wilayah-wilayah berstatus ekonomi tinggi dengan
angka laju delikuensi rendah, umumnya terdapat suatu persamaan dalam sikap para
penghuninya terhadap nilai-nilai konvensional dan terutama sikap-sikap yang berhubungan
dengan kesejahteraan anak. Hal ini tergambar dengan adanya kebulatan pendapat praktis
mengenai kehendak akan pendidikan dan aktivitas-aktivitas pada waktu luang yang
konstruktif serta tekanan terhadap anak untuk tetap melakukan aktivitas-aktivitas
konvensional. Dalam daerah-daerah tersebut juga terdapat rintangan-rintangan yang
dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap perilaku yang merugikan nilai-nilai
konvensional.
Itu tidaklah berarti bahwa setiap kegiatan yang
melibatkan anggota-anggota masyarakat adalah kegiatan yang tunduk kepada hukum.
Tetapi karena setiap usaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan
dengan hukum akan ditentang oleh dalam wilayah tersebut, anak-anak yang tinggal
dalam masyarakat dengan angka rataa-rata kejahatan yang rendah, secara keseluruhan
akan dihalangi oleh kontak langsung dengan bentuk-bentuk perilaku menyimpang.
Lebih jauh, pada wilayah-wilayah yang dihuni oleh klas
menengah dan wilayah-wilayah dengan status ekonomi tinggi, persamaan dalam
sikap-sikap dan nilai-nilai dalam hal sosial kontroltercermin dalam pranata-pranata
dan persekutuan-persekutuan sukarela yang bertujuan untuk mengekalkan dan
melindungi nilai-nilai ini.
Kebalikannya, pada wilayah-wilayah dengan status ekonomi
yang rendah yang berangka delikuensi tinggi ditandai dengan perbedaan yang luas
dalam norma-norma dan standar-standar perilaku.
Dua sistem kegiatan ekonomi yang saling bertentangan memperlihatkan
secara kasar kesempatan-kesempatan yang sama bagi para pekerja serta peningkatan
taraf kehidupan. Bukti keberhasilan dalam dunia penjahat ditunjukkan oleh
penampilan penjahat-penjahat dewasa yang pakaian dan kendaraannya
memperlihatkan bahwa mereka makmur dalam bidang yang dipilihnya. Nilai-nilai
yang salah dan resiko-resiko besar yang ditanggung tak jelas nampak bagi orang
yang berusia muda.
b)
Teori
“differential association”
Teori ini pada pokoknya mengetengahkan suatu penjelasan
sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan dipelajari
melalui interaksi dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang
intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan
serta motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran
yang mendukung dilakukannya kejahatan.
Postulat-postulat yang dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland
dan Donald Cressey dalam kerangka teori “differential association” ini adalah
sebagai berikut:
Ø Kejahatan di pejajari, secara negatif ini berarti bahwa
kejahatan tidak diwariskan.
Ø Kejahatan di pelajari dalam interaksi dengan orang-orang
lain melalui proses komunikasi.
Ø Proses belajar kejahatan meliputi:
·
Teknik-teknik
untuk melakukan kejahatan yang kadangkala sangat rumit dan kadang-kadang sangat
sederhana.
·
Arah,
motif, dorongan, pembenaran dan sikap-sikap.
Ø Arah khusus motif dan dorongan dipelajari dari
defenisi-defenisi tentang menguntungkan atau tidaknya aturan-aturan hukum.
Ø Seseorang menjadi delikuen oleh karena ia lebih mempunyai
defenisi yang mendukung pelanggaran hukum dibandingkan dengan defenisi-defenisi
yang tidak mendukung pelanggaran hukum.
Ø Pengelompokkan yang berbeda-beda mungkin beraneka
raganm dalam frekuensi, lamanya, perioritas dan intensitasnya.
Ø Proses belajar kejahatan melalui pengelompokkan dengan
pola-pola kejahatan atau anti kejahatn menyangkut semua mekanisme terdapat
dalam proses belajar apa pun.
Ø Walaupun kejahatan merupakan pencerminan
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, akan tetapi tidak dijelaskan oleh
kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai tersebut, oleh karena perilaku yang bukan kejahatan
pun merupakan pencerminan nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang sama.
Teori-teori lain yang menekankan pada peranan faktor-faktor
interaksi, antara lain adalah teori Daniel Claser mengenai “differential
identification and anticipation” yang pada pokoknya menekankan bahwa seseorang
menjadi jahat tidak hanya oleh keterlibatannya secara langsung dengan
penjahat-penjahat, meleinkan juga dengan mengacau pada eksistensi kriminal
mereka.
3.
Teori-Teori tentang Faktor Pencetus
Yang dimaksudkan dengan faktor-faktor pencetus disini
dapat berupa peranan korban dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan maupun
tekanan-tekanan situasional yang dialami pelaku kejahatan.
Menurut Shepard, dalam studi-studi tentang kejahatan kekerasan
terungkap betapa korban sangat acap memainkan peranan kunci dalam interaksi
kekerasan, bahkan tak jarang memprovokasi orang lain atau mencetuskan saling
balas dengan kekerasan yang pada akhirnya berakibat luka atau kematian.
Hubungan-hubungan sosial korban dalam kejahatan
kekerasan, terutama dalam pembunuhan yang memperlihatkan tingginya angka victim
precipitated kriminal homicide, menunjukkan korban merupakan bagian integral
dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan dengan kekerasan.
Faktor lain adalah tekanan situasional yang dapat
merupakan faktor pencetus berlangsungnya kejahatan, termasuk kedalamnya proses
pengambilan resiko. Menurut Don C. Gibbons termasuk kelompok faktor-faktor
pencetus ini adalah sikap-sikap dan motivasi-motivasi kriminal, dan pola-pola kepribadian
lain.
4.
Teori-Teori tentang Faktor Reaksi Sosial
Kejahatan atau perilaku menyimpang dapat pula
dijelaskan melalui suatu pendekatan sosiogenik dalam kriminologi yang
menekankan pada aspek-aspek prosesual dari terjadi dan berlangsungnya
penyimpangan terutama dalam hubungannya dengan reaksi sosial.
Dari sudut pandang ini, perilaku menyimpang adalah akibat
penilaian sosial yang ditujukan pada seseorang.
Salah satu teori yang dikenal didalam kriminologi yang
juga mencoba menjelaskan kejahatan dari perspektif reaksi sosial adalah teori
yang dikemukakan oleh Edwin Lemert. Lemert menguraikan tentang proses-proses
seseorang diasingkan sebagai pelaku penyimpangan dan akibatnya karir
kehidupannya terorganisasikan atau terbentuk secara pribadi disekitar
status-statussebagai pelaku penyimpangan.
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut Kartini Kartono dalam bukunya “patologi sosial” yaitu:
1.
Teori Teologis
Menyatakan kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang
jahat sifatnya. Setiap orang normal bisa
melakukan kejahatan sebab didorong oleh roh-roh jahat dan godaan setan/ iblis atau
nafsu-nafsu durjana angkara.dan melanggar kehendak Tuhan. Dalam keadaan
setengah atau tidak sadar karena terbujuk oleh godaan iblis , orang baik-baik
bisa menyalahi perintah-perintah Tuhan dan melakukan kejahatan. Maka, barang
siapa melanggar Perintah Tuhan, dia harus mendapatkan hukuman sebagai penebus
dosa-dosanya.
2.
Teori Filsafat tentang Manusia (Antropologi dan
Transendental)
Menyebutkan adanya dialektika antara pribadi /
personal jasmani dan pribadi rohani. Personal rohani disebut pula sebagai JIV atau
jiwa, yang berarti “lembaga kehidupan” atau “daya hidup”. Jiwa ini merupakan
prinsip keselesaian dan kesempurnaan, dan sifatnya baik, sempurna serta abadi,
tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu, jiwa mendorong manusia
kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan susila. Mengarahkan manusia pada usaha
transedensi diri dan konstruksi diri.
Jasmani menusia itu merupakan prinsip ketidakselesaian
atau perubahan dan sifatnya tidak sempurna. Prinsip ketidakselesain mengarahkan
manusia pada destruksi, kerusakan, kemusnahan, dan kejahatan.
Kecenderungan mengarahkan pada kebinasaan dan
kejahatan ini disebut sebagai kecenderungan menggelinding ke bawah, yang
berlangsung dengan mudah atau otomatis. Sedangkan aktivitas manusia menuju pada
konstruksi diri dan transendensi diri, melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan
luhur, benar-benar merupakan usaha yang pelik dan berat dan setiap saat harus
diperjuangkan secara gigih, agar orang tidak terseret kebawah melakukan
kejahatan.
3.
Teori Kemauan Bebas (Free Will)
Menyatakan bahwa manusia itu bisa bebas menurut
kemauannya. Dengan kemauan bebas dia berhak menentukan pilihan dan sikapnya.
Untuk menjamin agar setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas itu cocok dengan
keinginan masyarakat maka manusia harus diatur dan ditekan yaitu dengan: hukum,
norma-norma sosial dan pendidikan. Hukum dan hukuman biasanya disertai
ancaman-ancaman pidana yang menakutkan, agar manusia merasa ngeri dan takut berbuat
kejahatan dan tidak menyimpang dari pola kehidupan normal.
Teori kemauan bebas ini tidak menyebutkan roh-roh
jahat sebagai sebab musabab kejahatan. Akan tetapi, sebab kejahatan adalah
kemauan manusia itu sendiri. Jika dia dengan sadar benar berkeinginan melakukan
perbuatan durjana, maka tidak ada seorang pun, tidak satu deawapun, bahkan tidak
juga Tuhan dan sebuah kitab suci pun bisa melarang perbuatan kriminalnya.
Orang-orang jahat yang selalu melakukan tindak durjana, bikin onar, dan
kesengsaraan pada orang lain itu perlu ditindak, dihukum dan dididik kembali
oleh masyarakat.
4.
Teori Penyakit Jiwa
Menyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat
psikis, sehingga individu yang berkelainan individu sering melakukan kejahatan-kejahatan.
Penyakit jiwa tersebut berupa psikopat dan defek moral.
Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu asosial,
eksentrik (kegilaan), kurang memiliki kesadaran sosial dan intelegensia sosial.
Mereka amat fanatikdan sangat egoistik, juga selalu menentang norma lingkungan
dan norma etis.sikapnya aneh-aneh, sering berbuat kasar, kurang ajar, dan ganas buas terhadap siapa pun
tanpa suatu sebab. Sikapnya senantiasa menyakiti hati orang lain dan seringkali
bertinglkah laku kriminal.
Kelemahan dan kegagalannya terutama ialah: dia tidak
memiliki kemampuan untuk mengenal, memahami, mengendalikan, dan mengatur laku
yang salah dan jahat. Sehingga sering melekukan kekerasan, penyerangan dan
kejahatan.
Banyak orang yang defekt moral memiliki
simpton-simpton psikotis, khususnya berupa penyimpangan dalam relasi
kemanusiaan. Sikapnya dingin beku, tanpa afeksi atau perasaan.
Pada umumnya, bentuk tubuh penjahat-penjahat habitual
dan residivis-residivis itu lebih kecil dari pada tubuh orang normal. Berat
badannya juga lebih kurang daripada bobot orang dewasa pada umumnya.
5.
Teori Fa’al Tubuh (Fisiologis)
Teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah ciri-ciri
jasmani dan bentuk-bentuk jasmaninya. Yaitu pada bentuk tengkorak, wajah, dahi,
hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan, jari-jari, kaki, dan
anggota badan lainnya. Semua ciri fisik itu mengkonstituasikan kepribadian
seseorang dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal.
Pada umumnya, penjahat-penjahat sadis itu mempunyai
ciri-ciri jasmani khusus dan mereka itu dikelompokkan tipe kriminal. Kebanyakan
dari para kriminal itu mengidap penyakit ayan/ epilepsi sejak lahir. Ringkasnya,
sebab musabab kejahatan-kejahatan itu terletak pada konstitusi jasmani yang
mempengaruhi kehidupan jiwani, yang sudah ada sejak lahir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha
dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan
penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi
landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam
menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang
dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural,
faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi
sosial. Beberapa teori yang membahas peranan dari faktor-faktor itu sebagai
faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan membentuk karir kriminal.
1)
Teori-Teori
yang Membahas Peranan Faktor-Faktor Sosio-Kultural
Ø
Teori
“differential opportunity strukture”
Ø
Teori
mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Ø
Teori-teori
“kriminologi baru” atau “kriminologi krisis”
2)
Teori-teori
yang membahas faktor-faktor interaksi
Ø Teori “transmissi kebudayaan
Ø Teori “differential association”
3)
Teori-teori
tentang faktor pencetus
4)
Teori
tentang faktor reaksi sosial
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut kartini
kartono dalam bukunya patologi sosial: Teori teologis, Teori filsafat tentang
manusia, Teori kemauan bebas ,Teori
penyakit jiwa dan teori fa’al tubuh.
bener tuh p. tonipard ?
BalasHapus