Teori-Teori Dalam Kriminologi

Teori-Teori Dalam Kriminologi





Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kejahatan. Nama kriminologi yang ditemukan oleh P. Tonipard (1830-1911) seorang ahli antropologi Perancis, secara harfiah berasal dari kata “crimen” yang berarti kejahatan atau penjahat dan “logos” yang berarti ilmu pengetahuan, maka kriminologi dapat berarti ilmu tentang kejahatan atau penjahat. (Toto Santoso, Achyani Zulfa, 2002: 9).
Kriminologi lahir dan kemudian berkembang menduduki posisi yang penting sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang interdisiplin dan semakin menarik, bergerak dalam dua “roda besar” yang terus berputar dalam perubahan pola-pola kriminalitas sebagai fenomena sosial yang senantiasa dipengaruhi oleh kecepatan perubahan sosial dan teknologi. Roda-roda yang bergerak itu adalah penelitian kriminologi dan teori-teori kriminologi.(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 107).
Ada beberapa penggolongan teori dalam kriminologi antara lain(Soedjono Dirdjosisworo, 1994: 108-143) :
1.    Teori Asosiasi Diferensial (Differential Association Theory)
Sutherland  menghipotesakan bahwa perilaku kriminal itu dipelajari melalui asosiasi yang dilakukan dengan mereka yang melanggar norma-norma masyarakat termasuk norma hukum. Proses mempelajari tadi meliputi tidak hanya teknik kejahatan sesungguhnya, namun juga motif, dorongan, sikap dan rasionalisasi yang nyaman yang memuaskan bagi dilakukannya perbuatan-perbuatan anti sosial.
Theori asosiasi differensial Sutherland mengenai kejahatan menegaskan bahwa :
a.    Perilaku kriminal seperti halnya perilaku lainnya, dipelajari.
b.    Perilaku kriminal dipelajari dalam hubungan interaksi dengan orang lain melalui suatu proses komunikasi.
c.    Bagian penting dari mempelajari perilaku kriminal terjadi dalam pergaulan intim dengan mereka yang melakukan kejahatan, yang berarti dalam relasi langsung di tengah pergaulan.
d.    Mempelajari perilaku kriminal, termasuk didalamnya teknik melakukan kejahatan dan motivasi/ dorongan atau alasan pembenar.
e.    Dorongan tertentu ini dipelajari melalui penghayatan atas peraturan perundang-undangan; menyukai atau tidak menyukai.
f.     Seseorang menjadi deliquent karena penghayatannya terhadap peraturan perundangan lebih suka melanggar daripada mentaatinya.
g.    Asosiasi diferensial ini bervariasi tergantung dari frekuensi, durasi, prioritas dan intensitas.
h.    Proses mempelajari perilaku kriminal melalui pergaulan dengan pola kriminal dan anti kriminal melibatkan semua mekanisme yang berlaku dalam setiap proses belajar.
i.      Sekalipun perilaku kriminal merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai, akan tetapi tingkah laku kriminal  tersebut tidak dapat dijelaskan melalui kebutuhan umum dan nilai-nilai tadi, oleh karena perilaku non kriminal pun merupakan pencerminan dari kebutuhan umum dan nilai-nilai yang sama.
2.    Teori Tegang (Strain Theory)
Teori ini beranggapan bahwa manusia pada dasarnya makhluk yang selalu memperkosa hukum atau melanggar hukum, norma-norma dan peraturan-peraturan setelah terputusnya antara tujuan dan cara mencapainya menjadi demikian besar sehingga baginya satu-satunya cara untuk mencapai tujuan ini adalah melalui saluran yang tidak legal. Akibatnya, teori “tegas” memandang manusia dengan sinar atau cahanya optimis. Dengan kata lain, manusia itu pada dasarnya baik, karena kondisi sosiallah yang menciptakan tekanan atau stress, ketegangan dan akhirnya kejahatan.
3.    Teori Kontrol Sosial (Social Control Theory)
Landasan berpikir teori ini adalah tidak melihat individu sebagai orang yang secara intriksik patuh pada hukum, namun menganut segi pandangan antitesis di mana orang harus belajar untuk tidak melakukan tindak pidana. Mengingat bahwa kita semua dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk melanggar peraturan-peraturan di dalam masyarakat, delinkuen di pandang oleh para teoretisi kontrol sosial sebagai konsekuensi logis kegagalan seseorang untuk mengembangkan larangan-larangan ke dalam terhadap perilaku melanggar hukum.
Terdapat empat unsur kunci dalam teori kontrol sosial mengenai perilaku kriminal menurut Hirschi (1969), yang meliputi :
a.    Kasih Sayang
Kasih sayang ini meliputi kekuatan suatu ikatan yang ada antara individu dan saluran primer sosialisasi, seperti orang tua, guru dan para pemimpin masyarakat. Akibatnya, itu merupakan ukuran tingkat terhadap mana orang-orang yang patuh pada hukum bertindak sebagai sumber kekuatan positif bagi individu.
b. Komitmen
Sehubungan dengan komitmen ini, kita melihat investasi dalam suasana konvensional dan pertimbangan bagi tujuan-tujuan untuk hari depan yang bertentangan dengan gaya hidup delinkuensi.
c. Keterlibatan
Keterlibatan, yang merupakan ukuran kecenderungan seseorang untuk berpartisipasi dalam kegiatan-kegiatan konvensional mengarahkan individu kepada keberhasilan yang dihargai masyarakat.
a.    Kepercayaan
Akhirnya kepercayaan memerlukan diterimanya keabsahan moral norma-norma sosial serta mencerminkan kekuatan sikap konvensional seseorang. Keempat unsur ini sangat mempengaruhi ikatan sosial antara seorang individu dengan lingkungan masyarakatnya.
4.    Teori Label (Labeling Theory)
Landasan berpikir dari teori ini diartikan dari segi pandangan pemberian norma, yaitu bahwa sebab utama kejahatan dapat dijumpai dalam pemberian nama atau pemberian label oleh masyarakat untuk mengidentifikasi anggota-anggota tertentu pada masyarakatnya. (Gibbs dan Erickson, 1975; Plummer 1979; Schur 1971).
Terdapat banyak cara dimana pemberian label itu dapat menentukan batas bersama dengan perilaku kriminal telah dijadikan teori, misalnya bahwa pemberian label memberikan pengaruh melalui perkermbangan imajinasi sendiri yang negatif. Menurut teori label ini maka cap atau merek yang dilekatkan oleh penguasa sosial terhadap warga masyarakat tertentu lewat aturan dan undang-undang sebenarnya berakibat panjang yaitu yang di cap tersebut akan berperilaku seperti cap yang melekat itu. jadi sikap mencap orang dengan predikat jahat adalah kriminogen.
5. Teori Psikoanalitik (Psyco Analytic Theory)
Menurut Sigmund Freud, penemu psikonanalisa, hanya sedikit berbicara tentang orang-orang kriminal. Ini dikarenakan perhatian Freud hanya tertuju pada neurosis dan faktor-faktor di luar kesadaran yang tergolong kedalam struktur yang lebih umum mengenai tipe-tipe ketidakberesan atau penyakit seperti ini. Seperti yang dinyatakan oleh Alexander dan Staub (1931), kriminalitas merupakan bagian sifat manusia. Dengan demikian, dari segi pandangan psikoanalitik, perbedaan primer antara kriminal dan bukan kriminal adalah bahwa non kriminal ini telah belajar mengontrol dan menghaluskan dorongan-dorongan dan perasaan anti-sosialnya.
1.    Teori Rancangan Pathologis (Pathological Simulation Seeking)
Menurut Herbert C. Quay (1965) mengemukakan teori kriminalitas yang didasarkan pada observasi bahwa banyak kejahatan yang nampak memberikan seseorang perasaan gempar dan getaran hati atau sensasi. Kriminalitas merupakan manifestasi “banyak sekali kebutuhan bagi peningkatan atau perubahan-perubahan dalam pola stimulasi si pelaku”. Abnormalitas primer oleh karenanya dianggap sebagai sesuatu yang terletak dalam respon psikologis seseorang pada masukan indera. Berarti perilaku kriminal merupakan salah satu respon psikologis sebagai salah satu alternatif perbuatan yang harus ditempuh. Lebih spesifik lagi telah dihipotesakan bahwa para kriminal memiliki sistem urat syarat yang hiporeaktif terhadap rangsangan.
Beberapa bahasan dari teori rangsangan pathologis yang perlu mendapat perhatian :
a.    Kriminal dilakukan dengan sistem urat syarat yang diporeaktif dan otak yang kurang memberi respon, keadaan demkian tidak terjadi dalam vakum, melainkan berinteraksi dengan tujuan tempat tinggal tertentu dimana individu hidup dalam pergaulan.
b.    Anak-anak pradelinkuen cenderung membiasakan diri terhadap hukuman yang diterimanya dan rangsangan ini dengan mudah menambah frustasi dikalangan orang tua. Pola ini kemudian bergerak dalam lingkungan interaksi negatif “orang tua dan anak” yang pada gilirannya membentuk remaja dan orang dewasa yang bersifat bermusuhan, memendam rasa benci dan anti sosial. Kecenderungan mencuri rangsangan pathologis ini merupakan bagian dari gambaran kriminal.
c.    Interaksi orang-orang keadaan meliputi hipotesa :
1)    Bahwa respon parental yang negatif dan tidak konsisten terhadap perilaku mencari rangsangan atau stimuli sang anak, merupakan daya etiologis dalam perkembangan kecenderungan-kecenderungan kriminalitas selanjutnya.
2)    Bahwa abnormalitas psikologis sang anak akan menyulitkan baginya mangantisapasi konsekuensi yang menyakitkan atas perbuatannya.
Kedua faktor di atas merupakan faktor yang memberi kontribusi kepada siklus yang merugikan dalam interkasi orang tua anak yang bersifat negatif yang pada gilirannya berkulminasi pada pola kriminalitas berat. Christopher Mehew dalam penelitiannya mengenai kriminal dan prikologis menemukan adanya pengaruh kejiwaan terhadap perilaku jahat yang disimpulkan sebagai tingkat kedewasaan yang terhambat (emotional-immaturity) dan ternyata kondisi ini dipengaruhi  oleh masalah-masalah keluarga yaitu disharmonie home dan broken home.

2.    Teori Pilihan Rasional (Rational Choice Theory)
Landasan berpikir teori ini menitikberatkan pada utilitas atau pemanfaatan yang diantisipasi mengenai taat pada hukum lawan perilaku melawan hukum. Pendukung semula teori pilihan rasional, Gary Becker (1968) menegaskan bahwa akibat pidana merupakan fungsi, pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diprotes dalam peradilan pidana. Apabila demikian seolah-olah semua perilaku kriminal adalah keputusan rasional.

A.   Teori-Teori Sebab Terjadinya Perilaku Jahat

Perilaku jahat anak merupakan gejala penyimpangan dan patologis secara sosial itu juga dapat dikelompokkan dlam satu kelas defektif secara sosial, dan mempunyai sebab-musabab yang majemuk, jadi sifatnya multi-kausal.
Ada beberapa penggolongan teori mengenai sebab terjadinya perilaku jahat meliputi : (Kartini Kartono, 1985: 25-35).
1.    Teori biologis
2.    Teori psikogenesis (psikologis dan psikiatris)
3.    Teori sosiogenesis
4.    Teori subkultural

Ad.1.1. Teori Biologis
Tingkah laku sosiopatik atau delikuen pada anak-anak dan remaja dapat muncul karena faktor-faktor fisiologis dan struktur jasmaniah seseorang, juga dapat oleh cacat jasmani yang dibawa sejak lahir. Kejadian ini berlangsung :
a.    Melalui gen atau plasma pembawa sifat dan keturunan, atau melalui kombinasi gen, dapat juga disebabkan oleh tidak adanya gen tertentu, yang semuanya bisa memunculkan penyimpangan tingkah laku, dan anak-anak menjadi delikuen secara potensial.
b.    Melalui pewarisan tipe-tipe kecenderungan yang luar biasa (abnormal), sehingga membuahkan tingkah laku delikuen.
c.    Melalui pewarisan kelemahan konstitusi anal jasmaniah tertentu yang menimbulkan tingkah laku delikuen atau sosiopatik. Misalnya cacat bawaan brachy-dactylisme (berjari-jari pendek) dan diabetes insipidus (sejenis penyakit gula) itu erat berkorelasi dengan sifat-sifat kriminal serta penyakit mental.
Ad.1.2. Teori Psikogenesis
Teori ini  menekankan sebab-sebab tingkah laku delikuen anak-anak dari aspek psikologis atau isi kejiwaannya. Antara lain faktor intelegensi, ciri kepribadian, motivasi, sikap-sikap yang salah, fantasi, rasionalisasi, internalisasi diri yang keliru, konflik batin, emosi yang kontroversal, kecenderungan psikopatologis, dll. Kurang lebih 90 % dari jumlah anak-anak berperilaku jahat berasal dari kalangan keluarga berantakan (broken home). Kondisi keluarga yang tidak bahagian dan tidak beruntung, jelas membuahkan masalah psikologis personal dan adjusment (penyesuaian diri) yang terganggu pada diri anak, sehingga mereka mencari kompensasi di luar lingkungan keluarga guna memecahkan kesulitan batinnya dalam bentuk perilaku jahat. Ringkasnya, perilaku jahat anak-anak merupakan reaksi terhadap masalah psikis anak-anak itu sendiri.
Ad.1.3. Teori Sosiogenesis
Landasan berpikir teori ini menyatakan bahwa penyebab tingkah laku jahat pada anak-anak adalah murni sosiologis atau sosial-psikologis sifatnya. Misalnya disebabkan oleh pengaruh struktur sosial yang deviatif, tekanan kelompok, peranan sosial, status sosial atau internalisasi simbolis yang keliru. Jadi sebab-sebab perilaku jahat itu tidak hanya terletak pada lingkungan familial dan tetangga saja, akan tetapi terutama sekali, disebabkan oleh konteks kulturalnya. Maka perilaku jahat anak-anak itu jelas di pupuk oleh lingkungan sekitar yang buruk dan jahat, ditambah kondisi sekolah yang kurang menarik bagi anak-anak bahkan adakalanya justru merugikan perkembangan pribadi anak. Karena itu, konsep-kunci untuk dapat memahami sebab-sebab terjadinya kejahatan anak itu ialah pergaulan dengan anak-anak muda lainnya yang sudah berperilaku jahat.

Ad.1.4. Teori Subkultural Delikuensi
Menurut teori subkultural ini, perilaku jahat ialah sifat-sifat suatu struktur sosial dengan pola budaya (subkultural) yang khas dari lingkungan familial, tetangga dan masyarakat yang dialami oleh para anak yang berperilaku jahat tersebut.
Sifat-sifat masyarakat tersebut antara lain ialah :
a.    Punya populasi yang padat
b.    Status sosial-ekonomis penghuninya rendah
c.    Kondisi fisik perkampungan yang sangat buruk
d.    Banyak disorganisasi familial dan sosial bertingkat tinggi
Karena itu sumber utama kemunculan perilaku jahat anak adalah subkultural-subkultural perilaku jahat dalam konteks yang lebih luas dari kehidupan masyarakat. Ringkasnya, ditengah masyarakat modern sekarang, saat tidak semua kelompok sosial mendapatkan kesempatan yang sama untuk menapak jalan masuk menuju kekuasaan-kekayaan dan berbagai previlage, anak-anak dari kelas ekonomi terbelakang dan lemah mudah menyerap etik yang kontradiktif dan kriminal, lalu menolak konvensi umum yang berlaku, mereka menggunakan respon kriminal. Maka tingkah laku jahat anak-anak itu merupakan reaksi terhadap kondisi sosial 









 menambah pengetahuan, khususnya bagi pemakalah sendiri dan umumnya bagi teman-teman semua, untuk mengetahui teori-teori tentang kejahatan dan faktor-faktor penyebab kejahatan.
BAB II
PEMBAHASAN
TEORI-TEORI TENTANG KEJAHATAN DAN PENYEBABNYA

Tujuan-tujuan pembentukan suatu teori kriminologi pada pokoknya adalah:
v Memberikan suatu kerangka konseptual untuk membantu pengamatan yang cermat serta deskripsimengenai kejahatandan reaksi sosialterhadap kejahatan.
v Merumuskan suatu sistem sistem postulat-postulat dasar yang dapat menjelaskan kejahatan serta reaksi sosial.
v Menegakkan suatu dasar pengetahuan dan metode agar dalam kondisi-kondisi tertentu memungkinkan pengendalian atas kejahatan srta reaksi sosial.
v Membentuk suatu konsepsi kerja peradiloan pidana.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural, faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi sosial.
Beberapa teori yang membahas peranan dari faktor-faktor itu sebagai faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan membentuk karir kriminal.
Didalam kriminilogi terdapat sejumlah teori yang dapat dimasukkan kedalam kelompok teori yang menekankan peranan penting faktor-faktor sosio-kultural dalam membahas kejahatan dan perilaku menyimpang, antara lain teori kejahatan dan kondisi ekonomi, teori anomi, teori-teori sub kebudayaan, teori-teori konflik dan sebagainya. Beberapa teori penting yakni :
a)    Teori “differential opportunity structure”
Teori yang dikembangkan oleh Richard A. Cloward dan Lloyd E. Ohlin ini mengetengahkan beberapa postulat yakni:
v  Delikuensi adalah suatu aktivitas dengan tujuan yang pasti: meraih kekayaan cara-cara yang tidak sah.
v   Sub kebudayaan delikuensi terbentuk apabila terdapat kesenjangan antara tujuan-tujuan yang dikehendaki secara kultural diantara kaum muda golongan (lapisan) bawah dengan kesempatan-kesempatan yang terbatas dalam mencapai tujuan-tujuan ini melalui cara-cara yang sah.
v   Jenis-jenis sub-kebudayaan delikuen berkembang dalam hubungannya dengan perbedaan cara-cara yang tidak sah untuk mencapai tujuan. Jenis-jenis sub kebudayaan itu ialah:
Ø Sub kebudayaan konflik yang terdapat dalam lingkungan sosial yang mengalami disorganisasi serta ketidakstabilan. Pada lingkungan ini juga terdapat kesulitan-kesulitan dalam mencapai integrasi sosial, oleh karena seringkali para warga masyarakat memecahkan masalah “frustasi status” melalui cara-cara kekerasan.
Ø Sub kebudayaan kriminal yang terdapat dalam lingkungan sosial dengan ciri sebagian besar warganya berpendapatan rendah dan angka laju tinggi.
Ø Sub kebudayaan pengunduran diri
b)   Teori mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Berbagai jenis situasi gangguan ekonomi dikaji dalam bagian-bagian yang terpisah: krisis-krisis yang parah termasuk yang disebabkan bencana alam, krisis gradual dan siklikal yang tercermindalam inflasi, resesi dan mis-employment, kekurangan bahan dan tekanan-tekanan ekonomi yang kronis.
Istilah krisis yang dimaksudkan adalah suatu konsep umum yang tidak hanya menyangkut disfungsi ekonomi dari suatu jenis resesi, terlepas dari apakah ada atau tidak inflasi yang memperburuk keadaan tetapi juga krisis-krisis tertentu dan krisis lokal yang mungkin terjadi akibat bencana alam, krisis yang disebabkan oleh ketidakmampuan suatu masyarakat dalam “take off” ke era industri dan krisis yang melekat pada salah urus dalam bidang politik ekonomi.
Beberapa kesimpulan yang diperoleh dari diskusi-diskusi antara lain:
Pertama, pertumbuhan ekonomi berkorelasi secara positif, berbeda-beda dengan angka laju yang tinggi dari sebagian besar kategori kejahatan-kejahatan yang dilaporkan.
Kedua, melalui pengukuran indikator-indikator ekonomi pada tingkat mikro yang tercermin dalam pengangguran, kelesuan bisnis serta hilangnya daya beli dapat ditandai adanya peningkatan yang tajam dari sebagian besar kategori kejahatan yang dilaporkan.
Ketiga, tenggang waktu antara fluktuasi ekonomi dan peningkatan angka laju kejahatan berbeda-bedab sesuai dengan jenisnya, masyarakat dan waktu.
Keempat, kejahatan-kejahatan” primer” yaitu kejahatan yang secara langsung berhubungan dengan disfungsi ekonomi berkorelasi dengan kecenderungan dan terutama dikondisikan oleh kebutuhan-kebutuhan konkrit serta harapan-harapan yang mengalami frustasi. Diantara kejahatan atau perilaku menyimpang lain yang meningkat adalah :
Ø Kejahatan-kejahatan ekonomi, yakni penadahan dan penipuan konsumen.
Ø Pelanggaran norma non-kriminal.
Ø Pelanggaran-pelanggaran lain, seperti: alkoholisme.
Kelima, seringkali masalah yang paling serius dihadapi adalah gejala kejahatan “sekunder” yang terjadi apabila kejahatan “primer” yang berkaitan dengan krisis tidak terkendali atau diampuni (misalnya dalam hal penyalahgunaan hukuman) atau ditindak dan dihukum dengan kekerasan yang berlebihan. Dalam hal terakhir, karir penjahat individual lebih diperkuat dan kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan krisis semakin memperoleh dorongan.
Secara teoritik M. Harvey Brenner mengidentifikasi beberapa pandangan yang berbeda mengenai latar belakang kejahatan dalam hubungannya dengan pengaruh langsung ekonomi terhadap kejehatan, yakni:
Ø Penurunan pendapatan nasional dan lapangan kerja akan menimbulkan kegiatan-kegiatan industri ilegal.
Ø Terdapatnya bentuk-bentuk “innofasi” sebagai akibat kesenjangan antara nilai-nilai atau tujuan-tujuan sosial dengan sarana-sarana sosio-struktural untuk mencapainya. Dalam masa kemunduran ekonomi, banyak warga masyarakat yang kurang mempunyai kesempatan mencapai tujuan-tujuan sosial dan menjadi “innovator” potensial yang cenderung mengambil bentuk pelanggaran hukum.
Ø Perkembangan karir kejahatan dapat terjadi sebagai akibat tersumbatnya kesempatan dalam sektor-sektor ekonomi yang sah.
Ø Pada beberapa tipe kepribadian tertentu, krisis ekonomi akan menimbulkan frustasi oleh karena adanya hambatan atau ancaman terhadap pencapaian cita-cita dan harapan yang pada gilirannya menjelma dalam bentuk-bentuk perilaku agresif.
Ø Pada kelompok-kelompok tertentu yang mengalami tekanan ekonomi terhadap kemungkinan besar bagi berkembangnya sub kebudayaan delinkuen.
Ø Sebagai akibat krisis ekonomi yang menimbulkan pengangguran, sejumlah warga masyarakat yang menganggur dan kehilangan penghasilannya cenderung untuk menggabungkan diri dengan teman-teman yang menjadi pengangguran pula dan dengan begitu lebih memungkinkan dirancang dan dilakukannya suatu kejahatan.   
c)    Teori-teori “kriminologi baru” atau “kriminologi kritis”
William J. Chambliss secara khusus membahas tentang isi dan bekerjanya hukum pidana, konsekuensi kejahatan bagi masyarakat dan sebab musabab kejahatan.
Tentang latar belakang kejahataan, Chambliss mengemukakan bahwa kejahatan berasal dari orang-orang yang bertindak secara rasional sesuai dengan posisi klasnya. Kejahatan adalah suatu reaksi atas kondisi kehidupan klas seseorang dan senantiasa berbeda-beda tergantung pada struktur-struktur politik dan ekonomi masyarakat.
Masih dalam kerangka penjelasan bekerjanya faktor-faktor sosio-kultural, Richard Quinney mengetengahkan teori tentang realitas sosial kejahatan sebagai berikut:
Ø Kejahatan adalah suatu defenisi hukum yang diciptakan oleh alat-alat klas dominan didalam masyarakat yang secara politis terorganisasi.
Ø Definisi-defenisi kejahatan terdiri dari perilaku-perilaku yang bertentangan dengan kepentingan-kepentingan klas dominan.
Ø Defenisi-defenisi kejahatan diterapkan oleh klas yang mempunyai kekuasaan untuk menegakkan dan melaksanakan hukum pidana.
Ø Pola-pola perilaku dibangun dalam hubungannya dengan rumusan-rumusan kejahatan dan dalam konteks ini orang terlibat dalam tindakan-tindakan yang relatif mempunyai kemungkinan untuk dirumuskan sebagai kejahatan.
Ø Idiologi tentang kejahatan dibentuk dan disebarluaskan oleh klas dominan untuk memelihara hegemoninya.
Ø Realitas sosial kejahatan dibentuk oleh perumusan dan penerapan defenisi-defenisi kejahatan, perkembangan pola-pola perilaku dalam kaitannya dengan defenisi ini.
2.    Teori-Teori yang Membahas Faktor-Faktor Interaksi
a)    Teori “Transmissi kebudayaan”
Pada wilayah-wilayah berstatus ekonomi tinggi dengan angka laju delikuensi rendah, umumnya terdapat suatu persamaan dalam sikap para penghuninya terhadap nilai-nilai konvensional dan terutama sikap-sikap yang berhubungan dengan kesejahteraan anak. Hal ini tergambar dengan adanya kebulatan pendapat praktis mengenai kehendak akan pendidikan dan aktivitas-aktivitas pada waktu luang yang konstruktif serta tekanan terhadap anak untuk tetap melakukan aktivitas-aktivitas konvensional. Dalam daerah-daerah tersebut juga terdapat rintangan-rintangan yang dilakukan oleh masyarakat setempat terhadap perilaku yang merugikan nilai-nilai konvensional.
Itu tidaklah berarti bahwa setiap kegiatan yang melibatkan anggota-anggota masyarakat adalah kegiatan yang tunduk kepada hukum. Tetapi karena setiap usaha untuk melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan hukum akan ditentang oleh dalam wilayah tersebut, anak-anak yang tinggal dalam masyarakat dengan angka rataa-rata kejahatan yang rendah, secara keseluruhan akan dihalangi oleh kontak langsung dengan bentuk-bentuk perilaku menyimpang.
Lebih jauh, pada wilayah-wilayah yang dihuni oleh klas menengah dan wilayah-wilayah dengan status ekonomi tinggi, persamaan dalam sikap-sikap dan nilai-nilai dalam hal sosial kontroltercermin dalam pranata-pranata dan persekutuan-persekutuan sukarela yang bertujuan untuk mengekalkan dan melindungi nilai-nilai ini.
Kebalikannya, pada wilayah-wilayah dengan status ekonomi yang rendah yang berangka delikuensi tinggi ditandai dengan perbedaan yang luas dalam norma-norma dan standar-standar perilaku.
Dua sistem kegiatan ekonomi yang saling bertentangan memperlihatkan secara kasar kesempatan-kesempatan yang sama bagi para pekerja serta peningkatan taraf kehidupan. Bukti keberhasilan dalam dunia penjahat ditunjukkan oleh penampilan penjahat-penjahat dewasa yang pakaian dan kendaraannya memperlihatkan bahwa mereka makmur dalam bidang yang dipilihnya. Nilai-nilai yang salah dan resiko-resiko besar yang ditanggung tak jelas nampak bagi orang yang berusia muda.
b)   Teori “differential association”
Teori ini pada pokoknya mengetengahkan suatu penjelasan sistematik mengenai penerimaan pola-pola kejahatan. Kejahatan dipelajari melalui interaksi dengan orang-orang lain dalam kelompok-kelompok pribadi yang intim. Proses belajar itu menyangkut teknik-teknik untuk melakukan kejahatan serta motif-motif, dorongan-dorongan, sikap-sikap dan pembenaran-pembenaran yang mendukung dilakukannya kejahatan.
Postulat-postulat yang dikemukakan oleh Edwin H. Sutherland dan Donald Cressey dalam kerangka teori “differential association” ini adalah sebagai berikut:
Ø Kejahatan di pejajari, secara negatif ini berarti bahwa kejahatan tidak diwariskan.
Ø Kejahatan di pelajari dalam interaksi dengan orang-orang lain melalui proses komunikasi.
Ø Proses belajar kejahatan meliputi:
·      Teknik-teknik untuk melakukan kejahatan yang kadangkala sangat rumit dan kadang-kadang sangat sederhana.
·      Arah, motif, dorongan, pembenaran dan sikap-sikap.
Ø Arah khusus motif dan dorongan dipelajari dari defenisi-defenisi tentang menguntungkan atau tidaknya aturan-aturan hukum.
Ø Seseorang menjadi delikuen oleh karena ia lebih mempunyai defenisi yang mendukung pelanggaran hukum dibandingkan dengan defenisi-defenisi yang tidak mendukung pelanggaran hukum.
Ø Pengelompokkan yang berbeda-beda mungkin beraneka raganm dalam frekuensi, lamanya, perioritas dan intensitasnya.
Ø Proses belajar kejahatan melalui pengelompokkan dengan pola-pola kejahatan atau anti kejahatn menyangkut semua mekanisme terdapat dalam proses belajar apa pun.
Ø Walaupun kejahatan merupakan pencerminan kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai umum, akan tetapi tidak dijelaskan oleh kebutuhan-kebutuhan dan nilai-nilai tersebut, oleh karena perilaku yang bukan kejahatan pun merupakan pencerminan nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang sama.
Teori-teori lain yang menekankan pada peranan faktor-faktor interaksi, antara lain adalah teori Daniel Claser mengenai “differential identification and anticipation” yang pada pokoknya menekankan bahwa seseorang menjadi jahat tidak hanya oleh keterlibatannya secara langsung dengan penjahat-penjahat, meleinkan juga dengan mengacau pada eksistensi kriminal mereka.
3.    Teori-Teori tentang Faktor Pencetus
Yang dimaksudkan dengan faktor-faktor pencetus disini dapat berupa peranan korban dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan maupun tekanan-tekanan situasional yang dialami pelaku kejahatan.
Menurut Shepard, dalam studi-studi tentang kejahatan kekerasan terungkap betapa korban sangat acap memainkan peranan kunci dalam interaksi kekerasan, bahkan tak jarang memprovokasi orang lain atau mencetuskan saling balas dengan kekerasan yang pada akhirnya berakibat luka atau kematian.
Hubungan-hubungan sosial korban dalam kejahatan kekerasan, terutama dalam pembunuhan yang memperlihatkan tingginya angka victim precipitated kriminal homicide, menunjukkan korban merupakan bagian integral dalam situasi-situasi terjadinya kejahatan dengan kekerasan.
Faktor lain adalah tekanan situasional yang dapat merupakan faktor pencetus berlangsungnya kejahatan, termasuk kedalamnya proses pengambilan resiko. Menurut Don C. Gibbons termasuk kelompok faktor-faktor pencetus ini adalah sikap-sikap dan motivasi-motivasi kriminal, dan pola-pola kepribadian lain.
4.    Teori-Teori tentang Faktor Reaksi Sosial
Kejahatan atau perilaku menyimpang dapat pula dijelaskan melalui suatu pendekatan sosiogenik dalam kriminologi yang menekankan pada aspek-aspek prosesual dari terjadi dan berlangsungnya penyimpangan terutama dalam hubungannya dengan reaksi sosial.
Dari sudut pandang ini, perilaku menyimpang adalah akibat penilaian sosial yang ditujukan pada seseorang.
Salah satu teori yang dikenal didalam kriminologi yang juga mencoba menjelaskan kejahatan dari perspektif reaksi sosial adalah teori yang dikemukakan oleh Edwin Lemert. Lemert menguraikan tentang proses-proses seseorang diasingkan sebagai pelaku penyimpangan dan akibatnya karir kehidupannya terorganisasikan atau terbentuk secara pribadi disekitar status-statussebagai pelaku penyimpangan.
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut Kartini Kartono dalam bukunya “patologi sosial” yaitu:
1.    Teori Teologis
Menyatakan kriminalitas sebagai perbuatan dosa yang jahat sifatnya. Setiap orang  normal bisa melakukan kejahatan sebab didorong oleh roh-roh jahat dan godaan setan/ iblis atau nafsu-nafsu durjana angkara.dan melanggar kehendak Tuhan. Dalam keadaan setengah atau tidak sadar karena terbujuk oleh godaan iblis , orang baik-baik bisa menyalahi perintah-perintah Tuhan dan melakukan kejahatan. Maka, barang siapa melanggar Perintah Tuhan, dia harus mendapatkan hukuman sebagai penebus dosa-dosanya.
2.    Teori Filsafat tentang Manusia (Antropologi dan Transendental)
Menyebutkan adanya dialektika antara pribadi / personal jasmani dan pribadi rohani. Personal rohani disebut pula sebagai JIV atau jiwa, yang berarti “lembaga kehidupan” atau “daya hidup”. Jiwa ini merupakan prinsip keselesaian dan kesempurnaan, dan sifatnya baik, sempurna serta abadi, tidak ada yang perlu diperbaiki lagi. Oleh karena itu, jiwa mendorong manusia kepada perbuatan-perbuatan yang baik dan susila. Mengarahkan manusia pada usaha transedensi diri dan konstruksi diri.
Jasmani menusia itu merupakan prinsip ketidakselesaian atau perubahan dan sifatnya tidak sempurna. Prinsip ketidakselesain mengarahkan manusia pada destruksi, kerusakan, kemusnahan,  dan kejahatan.
Kecenderungan mengarahkan pada kebinasaan dan kejahatan ini disebut sebagai kecenderungan menggelinding ke bawah, yang berlangsung dengan mudah atau otomatis. Sedangkan aktivitas manusia menuju pada konstruksi diri dan transendensi diri, melakukan perbuatan-perbuatan mulia dan luhur, benar-benar merupakan usaha yang pelik dan berat dan setiap saat harus diperjuangkan secara gigih, agar orang tidak terseret kebawah melakukan kejahatan.  
3.    Teori Kemauan Bebas (Free Will)
Menyatakan bahwa manusia itu bisa bebas menurut kemauannya. Dengan kemauan bebas dia berhak menentukan pilihan dan sikapnya. Untuk menjamin agar setiap perbuatan berdasarkan kemauan bebas itu cocok dengan keinginan masyarakat maka manusia harus diatur dan ditekan yaitu dengan: hukum, norma-norma sosial dan pendidikan. Hukum dan hukuman biasanya disertai ancaman-ancaman pidana yang menakutkan, agar manusia merasa ngeri dan takut berbuat kejahatan dan tidak menyimpang dari pola kehidupan normal.
Teori kemauan bebas ini tidak menyebutkan roh-roh jahat sebagai sebab musabab kejahatan. Akan tetapi, sebab kejahatan adalah kemauan manusia itu sendiri. Jika dia dengan sadar benar berkeinginan melakukan perbuatan durjana, maka tidak ada seorang pun, tidak satu deawapun, bahkan tidak juga Tuhan dan sebuah kitab suci pun bisa melarang perbuatan kriminalnya. Orang-orang jahat yang selalu melakukan tindak durjana, bikin onar, dan kesengsaraan pada orang lain itu perlu ditindak, dihukum dan dididik kembali oleh masyarakat.
4.    Teori Penyakit Jiwa
Menyebutkan adanya kelainan-kelainan yang bersifat psikis, sehingga individu yang berkelainan individu sering melakukan kejahatan-kejahatan. Penyakit jiwa tersebut berupa psikopat dan defek moral.
Tingkah laku dan relasi sosialnya selalu asosial, eksentrik (kegilaan), kurang memiliki kesadaran sosial dan intelegensia sosial. Mereka amat fanatikdan sangat egoistik, juga selalu menentang norma lingkungan dan norma etis.sikapnya aneh-aneh, sering berbuat kasar,  kurang ajar, dan ganas buas terhadap siapa pun tanpa suatu sebab. Sikapnya senantiasa menyakiti hati orang lain dan seringkali bertinglkah laku kriminal.
Kelemahan dan kegagalannya terutama ialah: dia tidak memiliki kemampuan untuk mengenal, memahami, mengendalikan, dan mengatur laku yang salah dan jahat. Sehingga sering melekukan kekerasan, penyerangan dan kejahatan.
Banyak orang yang defekt moral memiliki simpton-simpton psikotis, khususnya berupa penyimpangan dalam relasi kemanusiaan. Sikapnya dingin beku, tanpa afeksi atau perasaan.
Pada umumnya, bentuk tubuh penjahat-penjahat habitual dan residivis-residivis itu lebih kecil dari pada tubuh orang normal. Berat badannya juga lebih kurang daripada bobot orang dewasa pada umumnya.
5.    Teori Fa’al Tubuh (Fisiologis)
Teori ini menyebutkan sumber kejahatan adalah ciri-ciri jasmani dan bentuk-bentuk jasmaninya. Yaitu pada bentuk tengkorak, wajah, dahi, hidung, mata, rahang, telinga, leher, lengan, tangan, jari-jari, kaki, dan anggota badan lainnya. Semua ciri fisik itu mengkonstituasikan kepribadian seseorang dengan kecenderungan-kecenderungan kriminal.
Pada umumnya, penjahat-penjahat sadis itu mempunyai ciri-ciri jasmani khusus dan mereka itu dikelompokkan tipe kriminal. Kebanyakan dari para kriminal itu mengidap penyakit ayan/ epilepsi sejak lahir. Ringkasnya, sebab musabab kejahatan-kejahatan itu terletak pada konstitusi jasmani yang mempengaruhi kehidupan jiwani, yang sudah ada sejak lahir.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang akan menunjukkan arah kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari solusinya.
Secara krimonologis, kejahatan dan perilaku menyimpang dapat dijelaskan sebagai hasil bekerjanya faktor-faktor sosio kultural, faktor-faktor interaksi, faktor-faktor pencetus dan faktor-faktor reaksi sosial. Beberapa teori yang membahas peranan dari faktor-faktor itu sebagai faktor-faktor yang melatarbelakangi kejahatan dan membentuk karir kriminal.
1)   Teori-Teori yang Membahas Peranan Faktor-Faktor Sosio-Kultural
Ø    Teori “differential opportunity strukture”
Ø    Teori mengenai “krisis ekonomi dan kejahatan”
Ø    Teori-teori “kriminologi baru” atau “kriminologi krisis”
2)   Teori-teori yang membahas faktor-faktor interaksi
Ø Teori “transmissi kebudayaan
Ø Teori “differential association”
3)   Teori-teori tentang faktor pencetus
4)   Teori tentang faktor reaksi sosial
Beberapa teori mengenai kejahatan menurut kartini kartono dalam bukunya patologi sosial: Teori teologis, Teori filsafat tentang manusia, Teori kemauan bebas ,Teori  penyakit jiwa dan teori fa’al tubuh.

1 komentar: